"Ya, kami hanya mengharapkan turis lokal," kata seorang pedagang cenderamata di Kota Mataram dengan nada berat. Sedangkan di Senggigi semua aspek terkait dengan pariwisata tersedia sehingga memenuhi kebutuhan wisatawan lokal dan mancanegara.
Menurut Duta Besar Indonesia untuk India, Sidharto R Suryodipuro, selama ini Bali telah menjadi magnet kuat yang dapat menarik kunjungan wisatawan India hingga mencapai 485.000 orang pada 2017 atau meningkat 28,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tentu saja karena banyak faktor yang mendukung Bali jadi tujuan wisata utama dunia.
Setiap saat kita bisa melihat 'orang Bali', yaitu warga yang memakai pakaian khas Bali dan pernak-pernik budaya. Keuntungan orang Bali adalah budaya juga bagian dari agama yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Pura-pura kecil dan besar ada di mana-mana. Ada kembang, sesajen dan dupa di berbagai tempat. Bahkan, tempat tidur dan kamar di hotel setelah dibersihkan akan dihiasi dengan kembang.
Hospitality
Bandingkan dengan daerah lain justru ada yang melarang unsur-unsur budaya karena dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama. Patung Badak Bercula Satu yang jadi ciri khas Ujung Kulon, Banten, misalnya sejak reformasi dihancurkan.
Di Yogyakarta masih bisa menjumpai 'orang Jawa', seperti kusir andong dan orang-orang yang memakai pakain khas lurik dan blangkon.
Tapi, apakah kita bisa melihat 'orang Batak' di Danau Toba? Adakah 'orang Sasak' di Mataram?
Tahun 1990-an ada WN Jerman, Dr Axel Ridder, yang membuka hotel di Carita (Carita Beach Krakatau), Banten, yang memakai arsitektur Baduy pada kamar-kamar hotel tapi menyediakan kamar mandi dan WC standar hotel berbintang. Pelayannya pun 'orang Baduy'. Sayang, dia pulang ke negaranya karena alasan kesehatan dan hotelnya dijual. Tamu-tamu hotel itu hanya 'orang bule' yang sekarang jarang tampak di Anyer sampai Carita.
Harga minuman dan makanan serta ongkos berbagai layanan pun tidak diatur seperti di Bali dan Yogyakarta. Bayangkan, ada wisatawan yang makan di Banten 'dipukul' dengan harga Rp 1 juta (Baca juga: Jangan Lagi Tipu Wisatawan dengan Harga Tak Pasti). Di Yogyakarta warung lesehan di kaki lima Jalan Malioboro sudah ada yang ditutup paksa oleh Pemkot Yogyakarta karena pengaduan warga yang ditipu dengan harga makanan yang tidak masuk akal (disebut nuthuk).
Apakah pemerintah daerah di DTW di luar Bali dan Yogyakarta bisa mengatur harga minuman, makanan, biaya layanan, dll.?