Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

AIDS di Badung, Klinik VCT dan Obat ARV Penanggulangan di Hilir

27 Mei 2018   23:28 Diperbarui: 27 Mei 2018   23:43 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: telegrafi.com)

"Mirisnya, 90,5 persen kasus ditemukan pada usia 20-49 tahun, yang merupakan usia produktif." Ini ada dalam berita "90,5 Persen Kasus HIV/AIDS di Badung (Bali-pen.) Diderita Usia Produktir" (balipost.com, 2/5-2018).

Ketua Pelaksana Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Badung, Bali, Ketut Suiasa, mengatakan kasus HIV tercatat 1.738, AIDS 1.164. Dari kasus tersebut sebanyak 2.440 orang terjadi pada usia 20-49 tahun.

Pemkab Badung sendiri sudah menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 1 Tahun 2008 tanggal19 Mei 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Tapi, karena tidak aplikatif, maka tidak mendukung penanggulangan HIV/AIDS (Baca juga: Perda AIDS Kab Badung, Bali: Tidak Ada Mekanisme Pemantauan Pemakaian Kondom).

Mitos                                                                                         

Fakta itu tidak seharusnya bikin miris karena itu adalah sesuatu yang alamiah. Jika faktor risiko (cara penularan) 90,5 persen itu adalah hubungan seksual, maka itu masuk akal karena pada usia itulah libido seks memuncak.

Yang miris kalau 90,5 persen kasus HIV/AIDS ditemukan pada bayi dan anak-anak. Itu artinya banyak ibu rumah tangga di Badung yang tertular HIV/AIDS dengan kemungkinan pertama ibu-ibu itu tertular HIV dari suaminya. Maka, begitu banyak laki-laki dewasa di Badung yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS.

Pernyataan di atas menunjukkan pehaman terhadap epidemi HIV/AIDS di kalangan banyak wartawan dan redaktur media massa dan media online yang rendah. Ini semua terjadi al. karena pelatihan tentang penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif lima tahun belakangan ini mandeg.

Padahal, salah satu keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS adalah melalui diseminasi informasi tentang HIV/AIDS melalui media massa dan media online. Ini sudah dibuktikan Thailand yang berhasil menekan insiden infeksi HIV baru. Ada lima program penanggulangan HIV/AIDS yang dijalankan Thailand secara simultan dengan skala nasional yang menempatkan diseminasi informasi HIV/AIDS di urutan pertama.

Pada lead berita ini pun ada informasi yang tidak akurat: Penemuan kasus HIV dan AIDS di Badung semakin menjadi-jadi. Bahkan, jumlah kasus pengidap penyakit mematikan ini mencapai sebanyak 2.902 kasus.

Belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena (virus) HIV atau (masa) AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS, secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV, karena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.

Jika dibicarakan dari aspek epidemilogi, maka makin banyak kasus yang ditemukan kian banyak mata rantai yang diputus. Jadi, penemuan kasus yang banyak bukan 'semakin menjadi-jadi', tapi semakin baik dari aspek penanggulangan.

Ketua Pelaksana KPA Badung, yang juga Wakil Bupati Badung, Ketut Suiasa, mengatakan, jalur penularan terbesar pada usia muda adalah dari hubungan seksual dan penyalahgunaan napza. Ini tidak terlepas dari kurangnya pengetahuan yang komprehensif tentang HIV dan AIDS baru yang baru mencapai 21,3 persen. "Hasil ini perlu mendapat perhatian khusus, bagaimana kaum muda dapat mencegah penularan HIV-AIDS," terangnya.

Bukan soal pengetahuan tentang HIV/AIDS, tapi informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV. Soalnya, sudah jamak terjadi informasi HIV/AIDS selali dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengait-ngaitkan zina, 'seks bebas', seks pranikah, homoseksual, pelacuran, dll. dengan penularan HIV. Padahal, fakta medis HIV/AIDS menunjukkan penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, 'seks bebas', seks pranikah, homoseksual, pelacuran, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom).

Program di Hilir

Nah, bagaimana masyarakat bisa melindungi diri kalau yang disampaikan hanya mitos.

Kondisi berupa kasus HIV/AIDS di Badung yang disebut menjadi-jadi itu ditanggapi dengan penyediaan fasilitas tes HIV (Klinik VCT) di semua Puskesmas dan pemberian obat antiretroviral (ARV). Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten Badung, dr Gede Putra Suteja, juga mengatakan pihaknya juga menyediakan tenaga di masing-masing desa.

Langkah yang disebut Kadinkes itu ada di hilir. Artinya, Pemkab Badung membiarkan warga tertular HIV dulu baru menjalani tes HIV dan meminum obat ARV.

Untuk menanggulangai HIV/AIDS agar tidak menjadi-jadi, yang diperlukan adalah:

(1). Merancang program penanggulangan di hulu, al. menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Perlu diingat ada dua tipe PKS, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.

Penanggulangan pada poin 1 (a) hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokasir sehingga bisa dijalankan program berupa inervensi untuk memaksa laki-laki pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Sedangkan untuk poin 1 (b) tidak bisa dilakukan intervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai macam modus.

(2). Mendeteksi kasus HIV/AIDS yang tidak tedeteksi di masyarakat melalui program yang konkret. Seperti diketahui epidemi HIV/AIDS erat kaitannnya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Yang bisa dilakukan Pemkab Badung untuk menemukan warga pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi di masyarakat adalah menjalankan program ril dengan regulasi yaitu mewajibkan suami perempuan yang hamil menjalani konseling tes HIV.

Jika hasil konseling menunjukkan perilaku seks suami berisiko tertular HIV, maka dilanjutkan dengan tes HIV.

Istri yang hamil pun menjalani tes HIV. Jika hasilnya positif, wajib mengikuti program pencegahan HIV/AIDS dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Langkah ini efektif, yaitu: memutus mata rantai penyebaran HIV melalui suami dan istri serta menyelamatkan bayi dari risiko tertular HIV.

Tanpa program penanggulangan yang riil, itu artinya insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Yang tertular dan tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun