Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Debat Kandidat Pilkada 2018 di TV Abaikan Realitas Sosial

5 Mei 2018   03:21 Diperbarui: 5 Mei 2018   17:21 2075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Kasus HIV/AIDS dan penyakit tidak menular serta perempuan yang jadi PSK dilupakan ....

Debat yang disiarkan televisi hanya sebatas perbincangan di permukaan sehingga fenomena yang ada di masyarakat sebagai realitas sosial tidak muncul sebagai bahan perdebatan. BPJS Kesehatan tekor Rp 7 T karena pembiayaan penyakit-penyakit tidak menular yang terjadi karena tidak ditangani sejak dini. Debat itu pun dikesankan (bisa) menyelesaikan masalah di daerah masing-masing.

Belasan tahun belakangan ini yang dilakukan pemerintah sebelum Pemerintahan Jokowi/JK dalam sektor kesehatan adalah membangun rumah sakit. Seperti yang dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika meresmikan RSPON (Rumah Sakit Pusat Otak Nasional) di Cawang, Jakarta Timur, bahwa selama memimpin Indonesia hampir 10 tahun sudah dibangun 837 rumah sakit yang setara dengan 600 persen. Sedangkan Puskesmas disebutkan bertambah 1.960 buah atau meningkat 600 persen. Apotek bertambah 1.056 atau meningkat 400 persen. Jumlah dokter sekarang mencapai 76.523 meningkat 200 persen (detikNews.com. 15/7-2014).

Itu artinya penduduk yang sakit terus bertambah juga, dong (Baca juga: Pemerintahan SBY: RS Meningkat 600 Persen, Jumlah Penduduk yang Sakit Juga Meroket). Selama ini di bagian depan rumah sakit terpampang tulisan: UGD atau IGD (Unit Gawat Darurat atau Instalasi Gawat Darurat), tapi sekarang sudah berganti menjadi: Menerima Homodialisa. Ini salah satu bukti banyak yang gawat dan darurat tidak lagi korban kecelakaan atau kena serangan penyakit, tapi sakit karena penyakit terkait gagal ginjal.

BPJS Kesehatan kewalahan karena pengluaran terbesar untuk perawatan, pengobatan dan obat-obatan terkait penyakit tidak menular, terutama jantung dan ginjal serta kanker. Semua penyakit ini jika dikontrol sejak dini bisa ditekan agar tidak jadi masalah di waktu dewasa. Inilah yang disebut oleh Prof Dr Ascobat Gani, MPH, DrPH, pakar kesehatan masyarakat di FKM UI, pada suatu kesempatan mengatakan agar paradigma berpikir terkait kesehatan di Indonesia dibalik.

Puskesmas bukan lagi semata-mata tempat berobat (kuratif), tapi sebagai promotor kesehatan. Misalnya, Puskesmas mendeteksi penduduk dengan penyakit degeneratif agar ditangani dari awal sehingga mereka tidak sakit karena penyakit tsb. (Baca juga: Hanya Genjot Pembangunan Rumah Sakit, Lupa Meningkatkan Kesadaran Masyarakat terhadap Kesehatan dan  Perbedaan Visi Kesehatan Antara Jokowi dan SBY).

Penyebaran HIV/AIDS juga sudah pada kondisi 'lampu kuning' dengan estimasi kasus kumulatif HIV/AIDS sebanyak 620.000 pada tahun 2016. Sayang, Ditjen P2P, Kemenkes RI, baru mengeluarkan data kasus per 31 Maret 2017 yaitu  330.152 kasus. Itu artinya bariu separuh kasus yang terdeteksi, sedangkan selebihnya jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat dalam benuk 'silent disaster' (bencana terselubung). Hasilnya kelak akan muncul dalam bentuk 'ledakan (kasus) AIDS'.

Salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS adalah praktek pelacuran dengan berbagai modus transaksi seks, bahkan sampai pakai media sosial. Perilaku laki-laki 'hidung belang' yang tidak mau memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung meningkatkan risiko penularan IMS dan HIV/AIDS. IMS [infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai 'penyakit kelamin'adalah penyakit-penyakit yang menular melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pengidap IMS), yaitu kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kanker serviks, dll.].

Ada kesan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota menganggap tidak ada lagi transaksi seks di daerahnya karena tidak ada lokalisasi pelacuran. Tentu saja ini keliru karena praktek pelacuran (akan) terus terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Di kota-kota besar pelaku transaksi seks ini adalah perempuan dari daerah. Apa pun alasan  bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) tentulah ini masalah besar karena terkait dengan sumber daya manusia (SDM) dari aspek kesehatan. Jika mereka tertular HIV, maka mereka pun berisiko pula menularkan HIV ke laki-laki yang mengencani mereka. 

Kalau PSK itu hamil dan melahirkan anak ada rikso bayi lahir dengan HIV/AIDS. Anak-anak itu kelak hidup dengan HIV/AIDS sehingga kapasitas mereka tidak optimal karena ada penyakit. Di Batam, Kepri, misalnya, banyak PSK dari daerah yang bisa jadi penyebar HIV di daerahnya kalau mudik (Baca juga: PSK Mudik Lebaran: Ada yang Bawa AIDS sebagai Oleh-oleh).

Sekarang obat antiretroviral (ARV) untuk menekan laju replikasi HIV di dalam darah masih gratis karena ada 'sedekah' dari donor asing. Tapi, kalau donor itu menghentikan bantuan tentulah pemerintah harus menanggung obat ARV bagi ratusan ribu pengidap HIV/AIDS. Jika tidak diberikan obat ARV kondisi mereka jelek sehingga tidak bisa bekerja optimal dan jadi beban keluarga. Selain itu tanpa obat ARV penularan HIV akan terus terjadi terutama dari laki-laki pengidap HIV ke pasangannya.

Kanker serviks yang al. juga ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah jadi penyebab kematian nomor dua pada perempuan di Indonesia. Ada lagi kanker payudara yang juga penyebab kematian pada perempuan.

Celakanya, dalam debat-debat itu sama sekali tidak muncul pembicaraan terkait dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS, IMS, dan penyakit tidak menular serta upaya mengentaskan perempuan yang jadi PSK. Survei Kemenkes RI akhir tahun 2012 menunjukkan ada 230.000 PSK langsung di beberapa kota pelabuhan di Indonesia (antarabali.com. 9/4-2013). Angka ini tidak termasuk PSK tidak langsung yang beroperasi di luar lokalisasi pelacuran dan memakai teknologi kumunasi dan media sosial.

Apakah calon-calon pemimpin daerah itu memahami realitas sosial di social settings daerahnya secara faktual?

Langkah mereka kelak ketika memimpin daerahnya akan jadi jawaban dari pertanyaan di atas. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun