" .... zina tetap merupakan penyebab terbesar terhadap hiv ...." Ini komentar Susanto Susanto terhadap artikel di Kompasiana (18/4-2016): "Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS". Hal seperti itu, masih menurut Susanto Susanto terjadi di atas kejadiannya 1 : 1.000.000.000.000.000.000.000.000.
Sayang, akun Susanto Susanto tidak ada informasi. Semua kategori nihil alias 0 (nol).
Pertama, kalau mengikuti pernyataan Sdr bahwa 'zina tetap merupakan penyebab terbesar terhadap hiv', maka semua orang yang pernah berzina sudah mengidap HIV/AIDS.
Zina yang dimaksud adalah hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan yang sah secara agama dan hukum antara laki-laki dan perempuan, al. dalam pacaran, 'seks bebas', 'kumpul kebo', perselingkuhan, transaksi seks komersial, wanita idaman lain (WIL), pria idaman lain (PIL), gratifikasi seks, dll.
Maka, dengan mengikuti pernyataan Sdr semua orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah dalam berbagai bentuk sudah mengidap HIV/AIDS.
Apakah hal di atas benar?
Tentu saja tidak karena penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom), bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah).
Ketiga, Sdr sebutkan kasus yang dialami guru agama itu 'terjadi di atas kejadiannya 1 : 1.000.000.000.000.000.000.000.000'. Data UNAIDS (Badan PBB untuk HIV/AIDS) kasus HIV/AIDS secara global pada tahun 2016 adalah 36,7 juta (unaids.org). Dalam jumlah ini ada yang tertular melalui hubungan seksual di dalam pernikahan, seperti ibu rumah tangga. Itu artinya pernyataan Sdr ngawur karena kasus HIV/AIDS secara global tidak sampai sebesar yang Sdr sebutkan.
Pengaitan zina dengan penularan HIV merupakan mitos (anggapan yang salah) yang justru menyesatkan dan menjerumuskan banyak orang sehingga tertular HIV. Soalnya, selama ini dikesankan zina hanya hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran. Banyak laki-laki yang merasa dirinya tidak berzina sehingga tidak berisiko tertular HIV karena hubungan seksual di luar nikah tidak mereka lakukan dengan PSK dan tidak pula di lokalisasi pelacuran.
Belakangan dikenal pula istilah 'gratifikasi seks' yaitu cewek yang jadi imbal jasa terkait dengan berbagai aspek, seperti politik, bisnis, dll. Awal tahun 2000-an penulis menerima keluhan seorang pejabat tinggi di tingkat kabupaten yang mengatakan bahwa dia merasa tidak berisiko tertular HIV karena kalau dinas ke Surabaya dan Jakarta dia disodori cewek cantik, pintar dan kaya. Cewek ini merupakan cewek gratifikasi yang dalam prakteknya sama saja dengan seorang pelacur atau PSK. Dikenal sebagai pelacur 'high class'.
Sepuluh tahun kemudian pejabat itu sakit-sakitan dan bulak-balik berobat ke rumah sakit. Padahal, kalau waktu curhat itu dia tes HIV tentulah bisa ditangani dokter sehingga tidak akan sakit parah.
Dengan estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 620.000 dengan 48.000 kasus HIV baru setiap tahun (aidsdatahub.org). Itu artinya sudah saatnya informasi HIV/AIDS yang disampaikan akurat bukan mitos agar masyarakat mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H