Ketika genderang perang terhadap miras dijalankan dengan Perda justru orang-orang yang membutuhkan minuman beralkohol menemukan miras oplosan dengan harga yang murah meriah.
Berbagai bahan dan zat dijadikan sebagai campuran miras oplosan, seperti alkohol dengan kadar 90 persen, etanol, metanol, air kelapa, air mineral, soda, sirup, minuman energi, minuman ringan, anggur, arak, obat sakit kepala, obat antinyamuk, dll. Ada juga yang menambahkan madu dan zat pewarna. Ini menunjukkan inovasi pembuat miras oplosan untuk menghasilkan efek tertentu tapi tidak menakar kadar bahan-bahan dan jumlah yang aman untuk dikonsumsi. Pembuatannya pun bisa saja tidak higienis.
Maka, langkah Polri seperti yang dikatakan oleh Wakapolri ini: Bumi Hanguskan Peredaran Miras Oplosan! (detiknews, 11/4-2018) tidak akan bisa menghentikan kebiasaan (buruk) mabuk-mabukan karena tidak menyasar akar persoalan. Razia terus tapi produsen miras oplosan pun terus menggodok 'resep-resep' baru karena selalu ada pasarnya.
Pernyataan beberapa kalangan, misalnya yang menyebutkan bahwa miras sebagai pelarian tidak tepat karena banyak penggemar minuman beralkohol sebagai bagian dari menu minuman dan pergaulan.
Maka, perlu edukasi secara luas ke masyarakat tentang dampak buruk miras oplosan dan minuman beralkohol. Soalnya, selama ini pendekatan hanya dari aspek agama yang sudah barang tentu tidak ada pilihan karena di agama tertentu minuman beralkobol dilarang.
Selain itu yang perlu diatur bukan larang menjual minuman berlalkohol, tapi mengatur dengan tegas tempat-tempat yang boleh menjual minuman dengan ukuran kandungan alkohol. Â Yang jelas kematian banyak terjadi karena miras oplosan yang diolah dengan cara-cara yang tidak higienis dan diminum tanpa takaran yang aman. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H