Setiap kali Satpol PP dan Polisi melakukan razia miras (minuman keras) terkesan bahwa miras merupakan barang ilegal. Ini salah satu kesalahan fatal karena miras bukan barang ilegal. Celakanya, Satpol PP dan Polisi tidak menjelaskan kepada wartawan mengapa dilakukan razia miras sehingga berita pun menyesatkan karena menggiring opini publik bahwa miras barang ilegal.
Belakangan ini miras oplosan jadi masalah besar karena banyak memakan korban. Catatan Harian "KOMPAS" (10/4-2018), misalnya, menunjukkan ada 18 kematian akibat miras oplosan pada tahun 2015 (Jateng, Jakarta, Jatim), tahun 2016 ada 38 korban ( DI Yogyakarta, Sumsel, Jakarta, Jabar, NTT), tahun 2017 tercatat 32 korban (Jateng, DIY, Banten) dan tahun 2018 sampai April dilaporkan 98 korban tewas (Jabar, Jabodetabek, Papua).
Perdagangan Gelap
Sedangkan "BBC Indonesia" (11/4-2018) melaporkan selama 10 tahun belakangan ini jumlah korban tewas akibat miras oplosan mencapai 837. Dari jumlah itu sekitar 300 orang tewas selama tahun 2008 dan 2013, yang melonjak tajam sepanjang tahun 2014 hingga 2018 dengan jumlah korban mencapai lebih dari 500.
Perdagangan miras legal karena diatur UU. Maka, razia miras harus sesuai UU yaitu pelanggaran terhadap penjualan berdasarkan ketentuan ukuran kadar alkohol. Miras dengan kandungan alkohol di awah 4 persen, seperti bir, bebas dijual. Tapi, karena banyak daerah memakai peraturan daerah (Perda) dengan syariah dan norma, maka semua minuman yang mengandung alkohol dilarang dijual secara resmi.
Maka, yang terjadi adalah perdagangan gelap yang menguntungkan pihak-pihak tertentu dan pembuatan miras ilegal. Di Manokwari, Papua Barat, misalnya, Perda Antimiras membuat pengusaha hotel kalang kabut menyediakan bir untuk tamu-tamunya. "Duh, Pak, saya bingung beli bir. Kalau pun ada harganya selangit," kata seorang pemilik hotel di sana di tahun 2000-an ketika daerah itu menjalanan Perda Antimiras. Soalnya, banyak tamu-tamu bule di hotel itu yang tentu saja menginginkan minuman beralkohol.
Karena minuman beralkohol di bawah 4 persen pun tidak boleh dijual, maka muncullah pembuatan miras opolosan karena memang ada yang membutuhkan. Yang perlu diketahui adalah miras dengan kandungan alkohol di bahwa 4 persen tidak akan pernah membuat peminumnya mabuk. "BBC Indonesia" (11/4-2018) melaporkan bahwa peneliti kebijakan publik mengarakan bahwa perederan miras oplosan terjadi karena produk miras legal dengan standar baku terjamin tak terjangkau oleh konsumen di Indonesia, sementara di sisi lain ada sejumlah komunitas yang memiliki tradisi minum alkohol. Hal ini diperkuat oleh Iwan Meulia Pirous, antropolog di Universitas Indonesia yang mengatakan bahwa konsumsi alkohol bagaimanapun adalah sebuah tradisi di Indonesia.
Ada beberapa jenis minuman, makanan dan buah-buahan yang mengadung alkohol dan banyak digemari. Ini menunjukkan ada kebutuhan alkohol pada sebagian orang. Di salah satu daerah di Sumut, misalnya, penggemar minuman yang mengandung alkohol tidak menyebut 'tuak' (terutama nira kelapa) karena yang disebut-sebut haram adalah 'tuak' sehingga mereka mengatakan 'ngiro manis' (nira manis), bukan 'tuak'. Biar pun ada makanan yang mengandung alkohol tapi tidak dilarang diperjualbelikan.
Maka, langkah yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah menghilangkan miras atau menjauhkan miras tidak akan pernah berhasil karena di masyarakat ada warga yang memang membutuhkan minuman, makanan dan buah-buahan yang mengadung alkohol.
Racikan untuk Efek Tertentu
Celakanya, tidak ada edukasi tentang alkohol karena yang selalu disampaikan oleh berbagai kalangan hanya larangan minum miras tanpa memberikan informasi yang akurat tentang manfaat dan dampak serta cara-cara meminum yang aman dan sehat serta memberikan pertimbangan dari aspek agama.
Ketika genderang perang terhadap miras dijalankan dengan Perda justru orang-orang yang membutuhkan minuman beralkohol menemukan miras oplosan dengan harga yang murah meriah.
Berbagai bahan dan zat dijadikan sebagai campuran miras oplosan, seperti alkohol dengan kadar 90 persen, etanol, metanol, air kelapa, air mineral, soda, sirup, minuman energi, minuman ringan, anggur, arak, obat sakit kepala, obat antinyamuk, dll. Ada juga yang menambahkan madu dan zat pewarna. Ini menunjukkan inovasi pembuat miras oplosan untuk menghasilkan efek tertentu tapi tidak menakar kadar bahan-bahan dan jumlah yang aman untuk dikonsumsi. Pembuatannya pun bisa saja tidak higienis.
Maka, langkah Polri seperti yang dikatakan oleh Wakapolri ini: Bumi Hanguskan Peredaran Miras Oplosan! (detiknews, 11/4-2018) tidak akan bisa menghentikan kebiasaan (buruk) mabuk-mabukan karena tidak menyasar akar persoalan. Razia terus tapi produsen miras oplosan pun terus menggodok 'resep-resep' baru karena selalu ada pasarnya.
Pernyataan beberapa kalangan, misalnya yang menyebutkan bahwa miras sebagai pelarian tidak tepat karena banyak penggemar minuman beralkohol sebagai bagian dari menu minuman dan pergaulan.
Maka, perlu edukasi secara luas ke masyarakat tentang dampak buruk miras oplosan dan minuman beralkohol. Soalnya, selama ini pendekatan hanya dari aspek agama yang sudah barang tentu tidak ada pilihan karena di agama tertentu minuman beralkobol dilarang.
Selain itu yang perlu diatur bukan larang menjual minuman berlalkohol, tapi mengatur dengan tegas tempat-tempat yang boleh menjual minuman dengan ukuran kandungan alkohol. Â Yang jelas kematian banyak terjadi karena miras oplosan yang diolah dengan cara-cara yang tidak higienis dan diminum tanpa takaran yang aman. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H