Seorang cewek mengaku menyesal seribu kali karena mau menerima tawaran sebagai cewek penghibur yang melayani 'tamu' APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation atau Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik) yang bersidang di Kota Bogor, Jawa Barat, tahun 1994.
Apa pasal?
'Kan bayarannya besoar. "Ya, tapi akibatnya penyakit kelamin yang saya derita tidak bisa disembuhkan." Inilah pengakuan seorang cewek panggilan kelas atas (high class), waktu itu kepada reporter Tabloid "MUTIARA". Penulis ditugaskan untuk membuat liputan tentang 'penyakit kelamin' terkait dengan epidemi HIV/AIDS.
Istilah yang tepat bukan 'penyakit kelamin', tapi IMS yaitu infeksi menular seksual yakni penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom dengan orang yang mengidap IMS, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus kenker serviks, dll.). Soalnya, tidak semua infeksi akibat penyakit IMS terjadi di alat kelamin, seperti hepatitis B dan HIV/AIDS sehingga tidak pas disebut 'penyakit kelamin'. Tapi, bisa juga menginfeksi bagian-bagian lain di tubuh, seperti tenggorokan, mata, dll. Bayi yang lahir dari perempuan yang mengidap GO juga bisa tertular, bahkan pada mata bayi.
Rupanya, cewek tadi kebagian wartawan Vietnam. Cewek itu pun terperangah ketika dokter mengatakan dia tertular kencing nanah (gonorrhea). Nah, itu dia. Saat Perang Vietnam berkecamuk dikabarkan berkecamuk pula 'penyakit kelamin' yang sulit disebumbuhkan yaitu 'Vietnam Rose' atau 'Black Pox'. Cewek itu pun kian ketakutan karena dia khawatir yang ditularkan kepadanya adalah 'Vietnam Rose'.
Sekarang "BBC Indonesia" (30/3-2018) mengabarkan ada pria Inggris yang didiangnosis mengidap IMS jenis super-gonore. Celakanya, pria itu mengaku ngesek dengan perempuan di Asia Tenggara.
Laporan Kemenkes RI pada akhir tahun 2012 ada 230.000 PSK langsung di beberapa tempat yang disurvei di Indonesia, terutama di sekitar pelabuhan. Sedangkan jumlah laki-laki yang jadi pelanggan PSK mencapai 6,7 juga, 4,9 juta di antara mempunyai istri (antarabali.com, 9/4-2013). Yang perlu diingat jumlah PSK tidak langsung yaitu cewek di bar, pub, panti pijat, online, disko, dll. jauh lebih banyak.
Kita tidak perlu menyangkal dan menuding negara lain karena ada perempuan dan laki-laki Indonesia yang juga ngeseks di negara-negara Asean. Bahkan, di Singapura dan Malaysia ada perempuan asal Indonesia yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Sebaliknya, ada juga laki-laki Indonesia yang membeli seks kepada PSK di negara-negara Asean.
"Mereka minta cewek tempatan," kata seorang laki-laki di KL (Kuala Lumpur), Malaysia. Maksudnya, laki-laki 'hidung belang' asal Indonesia mencari cewek lokal. Seperti dikatakan seorang pelancong asal Indonesia di Pattaya, Thailand, "Ya, kalau PSK asal Indonesia ngapain saya jauh-jauh ke mari."
Seperti yang diidap cewek PSK high class tadi, pria Inggris itu pun hanya bisa berharap ada obat yang bisa menyembuhkan penyakitnya karena obat-obatan yang ada tidak mempan lagi (resisten) terhadap super-gonore (Baca juga: Resistensi Antibiotik, Kelak Infeksi Bakteri Pun Bisa Jadi Penyebab Kematian).
Disaebutkan bahwa sejumlah media Inggris melaporkan adanya bakteri Neisseria Gonorrhoeae yang kebal terhadap antibiotika yang penggunaannya dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Celakanya, seperti dikutip "BBC Indonesia", "Untuk Neisseria Gonorrhoeae seharusnya setiap tahun diadakan uji coba atau suatu penelitian terhadap resistensi obat-obat yang sering kita pakai. Sayangnya di Indonesia hal tersebut tidak bisa kita lakukan karena dananya juga cukup besar," kata Profesor Dr. Sjaiful Fahmi Daili, guru besar spesialis kulit dan kelamin di Universitas Indonesia.
Gejala penyakit super-gonore ini tidak ada yang khas sehingga memerlukan diagnosis lanjut melalui pemerikasaan laboratorium. Itulah sebabnya setiap terjadi gejala di alat kelamin sebaiknya segera berobat. "Jangan mengobati diri sendiri, apalagi dengan memilih obat-obat yang bisa dibeli tanpa resep dokter. Kalau memang harus melakukan hubungan harus pakai pengaman, " demikian anjuran Profesor Sjaiful seperti dikutip "BBC Indonesia".
Yang jadi persoalan besar adalah praktek PSK langsung tidak lagi dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan advokasi dan penjangkauan. Seperti yang dilakukan oleh Prof Dr dr IDN Wirawan, MPH, melalui Yayasan Kerti Praja di Sesetan, Denpasar, Bali. "Itu semua untuk melindungi masyarakat," kata Prof Wirawan.
Setiap hari Jumat PSK menjalani tes IMS, menerima penyuluhan dan kondom agar mereka tidak tertular IMS dan HIV/AIDS serta tidak menularkan IMS dan HIV/AIDS ke laki-laki yang mereka layani melakukan hubungan seksual. Celakanya, ada wartawan yang menulis berita bahwa Prof Wirawan 'membela pelacur'. "Aduh, dari aspek kesehatan masyarakat yang saya lakukan adalah melindungi masyarakat," ujar Prof Wirawan (Baca juga: 'Jemput Bola' ke Lokasi Pelacuran di Denpasar, Bali).
Sayang, setelah dicari-cari dengan  bantuan 'Mbah Google' tidak ketemu jumlah kasus IMS, khususnya GO, di Indonesia. Ada laporan yang menyebutkan bahwa kasus GO paling banyak di antara penyakit IMS yaitu mencapai 16-57.7 persen (www.popline.org).
Di beberapa daerah dilaporkan juga. Tanpa menyebut angka disebutkan: Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Jawa Barat menyatakan kasus Infeksi Menular Seksual (IMS)di Kota Tasikmalaya sangat tinggi. Sehingga di tahun 2014 kasus IMS menjadi tertinggi se-Priangan Timur. Serta menduduki peringkat keenam setelah Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Sukabumi, dan Kota Cirebon (nasional.republika.co.id, 24/8-2014).
Ada juga laporan dari Karawang, Jawa Barat: Yayasan Kita-kita (Yakiki) Kabupaten Karawang, Jabar, melansir kasus infeksi menular seksual (IMS) di wilayah ini cukup tinggi. Rata-rata, per bulannya yang menderita penyakit IMS mencapai 90 orang. Penderitanya itu, merupakan ibu-ibu rumah tangga usia produktif (republika.co.id, 5/7-2015).
Sedangkan ini kasus di Kalbar: Sebanyak 3.189 orang di Kalimantan Barat menderita infeksi menular seksual (IMS) sepanjang 2015. Sembilan orang diantaranya berusia 1 hingga 14 tahun (pontianakpost.co.id, 24/2-2016).
Sedangkan daerah yang tidak melaporkan kasus IMS tidak berarti di daerah itu tidak ada warga yang tertular IMS karena banyak yang tidak berobat ke dokter atau rumah sakit karena malu. Mereka membeli ramuan dan obat bebas. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H