Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adakah Kompensasi bagi Pemilih yang Kecele pada Pilkada 2018?

16 Maret 2018   16:03 Diperbarui: 16 Maret 2018   20:00 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: barewalls.com)

Sudah bisa dipastikan dari 171 pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) di seluruh Indonesia ada yang terlibat kasus hukum terkait suap, korupsi dan pencucian uang yang segera ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka.

"Beberapa peserta pilkada, most likely (90 persen) akan menjadi tersangka," ujar Agus Rahardjo, Ketua KPK, kepada wartawan (detiknews, 8/3/2018). Itu artinya tinggal menuggu waktu saja agat penyidik KPK menaikkan kasus pada penyidikan dengan penetapan tersangka.

KPK bukan mengada-ada karena Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menerima 53 laporan transaksi transfer yang mencurigakan yang diduga terkait dengan Pilkada 2018. PPATK juga menemukan 1.066 transaksi tunai mencurigakan (detiknews, 9/3-2018).

Data itulah kemudian yang dianlisisi oleh penyidik KPK sesuai dengan standar prosedur operasi. Maka, jelas bahwa langkah KPK itu sama sekali tidak terkait dengan politik karena data itu memang ada menjelang pilkada.

Persoalannya kemudian adalah ada pihak-pihak yang menentang rencana KPK mengumumkan peningkatan status ke penyidikan dengan konsekuensi ada tersangka. Seperti yang dilontarkan oleh Menko Polhukam Wiranto mengatakan: "Kalau sudah ditetapkan sebagai pasangan calon menghadapi pilkada serentak, kami dari penyelengara minta ditunda dululah, ya. Ditunda dulu penyelidikan, penyidikannya, dan pengajuannya dia sebagai saksi atau tersangka." (kompas.com, 12/3-2018).

Permintaan Wiranto ini pun bak gayung bersambut. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan: "Ya, itu namanya pejabat yang tidak bisa menempatkan diri." Bagi Abdul, setinggi apa pun jabatannya, lanjut Abdul, eksekutif tidak bisa mengintervensi kekuasaan yudikatif, apalagi KPK sebagai penegak hukum yang independen dan bukan bagian dari eksekutif. (kompas.com,13/3-2018).  

Sedangkan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti, mengatakan: Sikap ramah terhadap kejahatan korupsi, seperti yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, sama sekali tidak mencerminkan wajah presiden Jokowi yang dikenal sebagai presiden bersih." (kompas.com, 13/3-2018).

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memastikan akan menindak tegas peserta Pilkada 2018 yang menggunakan aliran dana gelap. Ini pernyataan Ketua Bawaslu Abhan setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK) menemukan 1.119 transaksi mencurigakan yang terkait dengan kepentingan pilkada. "Kalau itu digunakan, itu bisa kena sanksi diskualifikasi jika terbukti," ujar Abhan Misbah di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (12/3/2018). (kompas.com, 13/3-2018),

Apa yang bisa dilakukan Bawaslu adalah setelah ada kepastian hukum. Itu artinya calon yang bermasalah dengan suap, korupsi dan pencucian uang jalan terus. Polri sendiri, melalui Karo Multimedia Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Rikwanto di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, mengatakan, imbauan penundaan status tersangka bagi kontestan pilkada, sebagaimana disampaikan Menkopolhukam Wiranto, perlu didukung bersama. Dia menilai, penetapan status tersangka saat masa pilkada, bisa menimbulkan kegaduhan. "Kami dukung sampai pemilu (tahapan pilkada) selesai." (kompas.com, 15/3-2018).

Di tengah hiruk-pikuk pro dan kontra penetapan tersangka bagi peserta Pilkada 2018, KPK tetap pada pendiriannya. Seperti dilaporkan "VOA Indonesia" (15/3-2018): Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap akan memproses hukum calon kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi, meski pemerintah mengimbau agar KPK menunda proses hukum tersebut. KPK justru mengimbau pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengganti kepala daerah yang menjadi tersangka.

Yang luput dari perhatian pemerintah, dalam hal ini Menko Polhukam Wiranto dan pihak-pihak yang kontra, adalah pemilih yang terpaksa ibarat 'membeli kucing dalam karung'. Memang, bisa dipastikan kucing karena suaranya, tapi pembeii tidak mengetahui belang [KBBI: sifat-sifat (kelakuan) buruk; kejelekan; noda; cacat] kucing tsb. (Baca juga: Rakyat Bak "Membeli Kucing dalam Karung" pada Pilkada 2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun