Belakangan ini kalangan yang langsung terkait dengan HIV/AIDS, seperti Dinas Kesehatan (Dinkes), Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), LSM dan aktivis lebih mengutamakan sensasi daripada disseminasi informasi HIV/AIDS yang akurat.
Seperti yang dilakukan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Cianjur, Jabar, Neneng Efa Fatimah, ini. Dalam berita "168 Penderita HIV/AIDS Baru di Cianjur, 86 Diantaranya Gay" (netralnews.com, 30/1-2018) Neneng mengatakan bahwa ODHA yang berasal dari kaum gay berisiko tinggi menularkan HIV/AIDS dibandingkan WPS ataupun kategori risiko tertular lain.Â
Pertama, cara menulis ODHA salah karena Odha  bukan akronim atau singkatan tapi kata yang merujuk pada Orang dengan HIV/AIDS sebagai padanan People Living whit HIV/AIDS (PLWHA).
Kedua, di judul disebutkan penderita HIV/AIDS. Orang-orang yang tertular HIV tidak otomatis menderita karena sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) tidak ada gejala dan keluhan kesehatan yang khas AIDS.
Ketiga, penggunaan kata WPS (wanita penjaja seks) rancu bin ngawur karena perempuan atau wanita yang jadi pekerja seks tidak pernah menjajakan barang dagangannya. Penggunaan kata ini merendahkan harkat dan martabat manusia (Baca juga: Pemakaian Kata dalam Materi KIE AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia). Terminologi yang tepat adalah pekerja seks komersial (PSK) yang mengacu ke commercial sex worker (CSW).
Keempat, HIV pada gay adalah di terminal terakhir karena gay tidak mempunyai istri sebagai pasangan tetap sehingga gay tidak menularkan HIV ke luar komunitas mereka.
Kelima, PSK (dalam berita disebut WPS) lebih potensial menularkan HIV daripada gay karena setiap malam seorang PSK melayani hubungan seksual dengan 3-5 laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki ini bisa saja sebagai seorang suami yang kelak menularkan HIV ke istrinya. Kalau istrinya tertular maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya.
Kian hari informasi HIV/AIDS kian rancu. Ini membingungkan masyarakat sehingga tidak terjadi pencerahan yang diharapkan bisa jadi pemicu perubahan perilaku.
Ada lagi pernyataan: Pihaknya (maksudnya Dinkes Cianjur-pen.) akan mencoba memvalidasi data serta mendorong pelaku seks menyimpang untuk melakukan tes, agar dapat diketahui jumlah pasti penderita HIV/AIDS, Â sehingga dapat dilakukan penanganan maksimal.
Ini bahasa moral. Kalau gay disebut 'pelaku seks menyimpang', bagaimana dengan laki-laki beristri yang berzina? Suami-suami pezina jelas melawan hukum dan merupakan penyimpangan dari asas pernikahan.
Dikatakan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids Cianjur, Hilman, pihaknya bersama instansi terkait mengupayakan penanganan terhadap LSL yang telah terdata dengan melakukan tes kesehatan, guna memastikan LSL tersebut tidak terjangkit HIV/AIDS.