Suku Baduy Dalam di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, juga sudah diintevensi oleh bidan modern dengan membawa peralatan persalinan modern. Ini dilema besar karena alat-alat itu juga jadi 'pembunuh' bayi-bayi ketika dukun beranak di sana tidak bisa melakukan sterilisasi dengan cara yang benar. Selama mereka memakai alam, misalnya, sembilu. Nah, yang perlu diberikan adalah cara-cara menjaga agar rumpun bambu tidak tercemar. Bukan membawa alat-alat modern yang justru bisa jadi pembawa bencana.
Di salah satu suku asli di Indonesia ada aturan bahwa kepala suku boleh, maaf, meniduri semua perempuan di komunitas suku itu. Jika dikaitkan dengan epidemi HIV tidak masalah asalkan kepala suku itu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK atau perempuan lain di luar suku. Atau sebaliknya selalu memakai kondom ketika menjalankan haknya kalau tidak pakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK atau perempuan lain, seperti perempuan penghibur di tempat-tempat hiburan yang menyediakan cewek.
Yang tidak masuk akal adalah sosialisasi HIV/AIDS hanya menyasar kaum perempuan. Dalam relasi suami-istri posisi istri ada pada sub-ordinat laki-laki sehingga perempuan (baca: istri) ada pada posisi tidak berdaya (powerless dan voiceless), sedangkan laki-laki (baca: suami) ada pada posisi berdaya dengan memegang kendali (powerfull dan voicefull).
Di sisi lain yang sering terjadi adalah penyangkalan dan menyalahkan pihak lain atau kambing hitam (Baca juga: Penyangkalan Mendorong Penyebaran HIV di Tanah Papua dan AIDS di Papua: Penyangkalan Terhadap Perilaku Seksual Laki-laki Papua).
Misalnya, tudingan ada genosida. Padahal, secara ril HIV/AIDS bukan alat ampuh untuk melakukan genosida karena HIV bukan wabah yang mudah menular dan tidak pula mematikan [Baca juga: Genosida di Tanah Papua dengan HIV/AIDS adalah Hal yang (Nyaris) Mustahil dan AIDS di Papua Bukan Genosida].
Dalam kaitan penanggulangan HIV/AIDS pemerintah nyaris tidak bisa berkutik karena penolakan dari daerah, seperti menolak lokalisasi pelacuran dan kondom. Yang bisa dilakukan dalam kaitan penanggulangan HIV/AIDS hanya menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.
Seperti yang dijalankan oleh Thailand, misalnya, dari lima langkah penanggulangan HIV/AIDS dengan skala nasional secara simultan salah satu adalah program wajib kondom 100 persen bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tentu saja intervensi untuk menjalankan program ini hanya bisa dilakukan kalau transaksi seks yang melibatkan PSK dilokalisir. Ini mustahil di Indonesia.
Kasus HIV/AIDS di Thailand pernah mendekati angka 1 juta, tapi setelah program itu insiden kasus baru hanya 6.400/tahun dan kini kasus di Negeri Gajah Putih itu ada pada angka 400.000. Bandingkan dengan Indonesia dengan estimasi kasus 600.000 sedangkan kasus yang terdeteksi, seperti dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI yang rilis pada 24 Mei 2017 menyebutkan sampai tanggal 31 Maret 2017 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia adalah 242.699 yg terdiri atas 330.152 HIV dan 87.453 AIDS. Estimasi kasus baru 48.000/tahun (aidsdatahub.org).
Program-program yang dijalankan Pusat dan pemerintah daerah hanyalah sebatas penanggulangan di hilir yaitu tes HIV dan pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV). (Baca juga: Tes HIV Adalah Penanggulangan di Hilir sebagai Pembiaran Penduduk Tertular HIV).
Itu artinya insiden infeksi HIV baru di hulu, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK akan terus terjadi. Pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini akan bermuara pada "ledakan AIDS". *