Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Epidemi HIV adalah Ancaman Serius bagi Kehidupan Suku-suku Asli di Indonesia

30 Januari 2018   08:19 Diperbarui: 30 Januari 2018   15:04 1321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Wabah HIV yang menghancurkan suku asli di Amerika Latin." Ini judul berita di "BBC Indonesia" yang tayang pada 29 Januari 2018. Diberitakan bahwa sebuah suku yang hidup di bagian timur Venezuela, Warao, hanya terdiri atas perempuan karena semua laki-laki meninggal. Suku-suku lain tidak ada yang mau menikah dengan perempuan Warao. Ada anggapan suku ini dapat 'kutukan berat'. Tapi kalangan ahli bisa menjelaskan kondisi itu secara ilmiah.

Kematian laki-laki suku Warao bukan karena 'kutukan berat', tapi mereka meninggal karena penyakit-penyakit yang terkait dengan infeksi HIV.

Silent Disaster

Seorang dokter Belanda, Jacobus de Waard (Institute of Biomedicine di Venezuela's Central University) yang praktek pengobatan di kalangan suku Warao sejak tahun 1993 mengatakan laki-laki berusia 16-23 tahun tertular HIV. Memang, insiden hanya berkisar 10 persen di komunitas. Laporan UNAIDS (Badan Khusus PBB yang menangani AIDS) prevelansi HIV di kawasan lain di Venezuela hanya 0,6 persen.

Namun, jumlah anggota komunitas suku-suku itu juga sedikit sehingga angka 10 persen dan privelensi 0,6 persen di wilahan lain sangatlah besar sehingga epidemi HIV bagaikan 'mesin pembunuh' dalam kondisi 'silent disaster' (bencana terselubung).

Pakar-pakar epidemilogi akhirnya sampai pada kesimpulan: "Membayangkan masa depan suku ini menakutkan. Jumlah mereka terus berkurang dengan berarti, dan skenario yang memungkinkan adalah mereka akan musnah." Ini sudah terjadi di beberapa negara di Afrika. Desa-desa hilang karena tidak ada lagi penghuninya.

Jika kondisi itu kita tarik ke Indonesia tentulah sangat berlasan kalau ada kekhawatiran kelangsungan hidup suku-suk asli di Nusantara.  Pada sebuah pelatihan untuk wartawan tentang penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif di Jayapura, Papua pada Oktober 2005. Pengajar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Jakarta, dokter Zulazmi Mamdy, MPH bersama penulis mengatakan kalau orang Jawa, Batak, Sunda, Bugis, dll. yang merantau ke Tanah Papua mati karena AIDS, nun di daerah Jawa, Tapanuli, Jabar dan Sulsel masih banyak orang Jawa, Batak, Sunda dan Bugis. Tapi, kalau suku-suku di Papua habis karena penyakit terkait AIDS, maka ada suku yang tidak ada di luar Papua. Kepunahan suku karena penyakit terkait AIDS sudah terjadi di Afrika (Baca juga: Menyelamatkan (Suku-suku) Tanah Papua dari Ancaman AIDS).

Laporan "tabloidjubi.com" (19/5-2009) menyebutkan laki-laki Asmat dan Mappi memakai uang hasil penjualan kayu gaharu untuk membayar layanan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) dan menikmati hiburan di bar yang juga penuh dengan perempuan penghibur. Disebutkan distrik Ecy atau Asgon ada 35 PSK dan Atsy sebanyak 54 PSK, juga di Kampung Waganu sebanyak 250 PSK. Sebagian datang dengan germo dan pengusaha yang antara lain membeli kayu gaharu yang harganya ketika itu antara Rp 300.000-Rp 10 juta per kilogram.

Yang dikhawatirkan pola di Papua di-copy paste di daerah lain sehingga suku-suku asli dengan populasi yang kecil sangat mudah punah. Suku-suku asli menjual hasil bumi, madu dan barang kerajinan. Mereka keluar dari komunitas ke masyarakat luar yang terbuka dengan segala macam perilaku, antara lain. perilaku seksual yang berisiko tertular HIV.

Kehidupan suku-suku asli di Indonesia sudah dirusak oleh orang-orang yang merasa dirinya lebih berbudaya, lebih bermartabat, dan lebih beragama.

Suku Kubu di Jambi, misalnya, menghadapi dilema karena anak-anak yang bersekolah forma' ditolak oleh masyarakat di luar suku. Mereka tidak perlu diintervensi dengan pendidikan modern karena belajar di alam dan dari alam. Yang perlu dilakukan adalah tidak mengganggu habitat mereka.

Suku Baduy Dalam di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, juga sudah diintevensi oleh bidan modern dengan membawa peralatan persalinan modern. Ini dilema besar karena alat-alat itu juga jadi 'pembunuh' bayi-bayi ketika dukun beranak di sana tidak bisa melakukan sterilisasi dengan cara yang benar. Selama mereka memakai alam, misalnya, sembilu. Nah, yang perlu diberikan adalah cara-cara menjaga agar rumpun bambu tidak tercemar. Bukan membawa alat-alat modern yang justru bisa jadi pembawa bencana.

Ilustrasi (Sumber: collections.nlm.nih.gov)
Ilustrasi (Sumber: collections.nlm.nih.gov)
Penanggulangan di Hilir

Di salah satu suku asli di Indonesia ada aturan bahwa kepala suku boleh, maaf, meniduri semua perempuan di komunitas suku itu. Jika dikaitkan dengan epidemi HIV tidak masalah asalkan kepala suku itu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK atau perempuan lain di luar suku. Atau sebaliknya selalu memakai kondom ketika menjalankan haknya kalau tidak pakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK atau perempuan lain, seperti perempuan penghibur di tempat-tempat hiburan yang menyediakan cewek.

Yang tidak masuk akal adalah sosialisasi HIV/AIDS hanya menyasar kaum perempuan. Dalam relasi suami-istri posisi istri ada pada sub-ordinat laki-laki sehingga perempuan (baca: istri) ada pada posisi tidak berdaya (powerless dan voiceless), sedangkan laki-laki (baca: suami) ada pada posisi berdaya dengan memegang kendali (powerfull dan voicefull).

Di sisi lain yang sering terjadi adalah penyangkalan dan menyalahkan pihak lain atau kambing hitam (Baca juga: Penyangkalan Mendorong Penyebaran HIV di Tanah Papua dan AIDS di Papua: Penyangkalan Terhadap Perilaku Seksual Laki-laki Papua).

Misalnya, tudingan ada genosida. Padahal, secara ril HIV/AIDS bukan alat ampuh untuk melakukan genosida karena HIV bukan wabah yang mudah menular dan tidak pula mematikan [Baca juga: Genosida di Tanah Papua dengan HIV/AIDS adalah Hal yang (Nyaris) Mustahil dan AIDS di Papua Bukan Genosida].

Dalam kaitan penanggulangan HIV/AIDS pemerintah nyaris tidak bisa berkutik karena penolakan dari daerah, seperti menolak lokalisasi pelacuran dan kondom. Yang bisa dilakukan dalam kaitan penanggulangan HIV/AIDS hanya menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Seperti yang dijalankan oleh Thailand, misalnya, dari lima langkah penanggulangan HIV/AIDS dengan skala nasional secara simultan salah satu adalah program wajib kondom 100 persen bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tentu saja intervensi untuk menjalankan program ini hanya bisa dilakukan kalau transaksi seks yang melibatkan PSK dilokalisir. Ini mustahil di Indonesia.

Kasus HIV/AIDS di Thailand pernah mendekati angka 1 juta, tapi setelah program itu insiden kasus baru hanya 6.400/tahun dan kini kasus di Negeri Gajah Putih itu ada pada angka 400.000. Bandingkan dengan Indonesia dengan estimasi kasus 600.000 sedangkan kasus yang terdeteksi, seperti dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI yang rilis pada 24 Mei 2017 menyebutkan sampai tanggal 31 Maret 2017 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia adalah 242.699 yg terdiri atas 330.152 HIV dan 87.453 AIDS. Estimasi kasus baru 48.000/tahun (aidsdatahub.org).

Program-program yang dijalankan Pusat dan pemerintah daerah hanyalah sebatas penanggulangan di hilir yaitu tes HIV dan pengobatan dengan obat antiretroviral (ARV). (Baca juga: Tes HIV Adalah Penanggulangan di Hilir sebagai Pembiaran Penduduk Tertular HIV).

Itu artinya insiden infeksi HIV baru di hulu, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK akan terus terjadi. Pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini akan bermuara pada "ledakan AIDS". *

Catatan: Pemakaian AIDS untuk memudahkan sebagian pembaca memahami tulisan, sedangkan yang tepat adalah epidemi HIV.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun