Informasi HIV/AIDS yang akurat sudah banjir, tapi tetap saja ada yang 'ketinggalan kereta' dalam memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Contohnya, mengaitkan animo masyarakat tes HIV sebagai upaya menghindari (tertular) HV/AIDS.
Hal itu ada dalam berita "Jumlah Pengidap HIV/AIDS di Kota Lhokseumawe 49 Orang, 14 di Antaranya Meninggal Dunia" (tribunnews.com, 13/1-2018): Dia (Kabid Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinkes Kota Lhokseumawe, Aceh, dr Helizar) mengakui, sekarang ini animo masyarakat Lhokseumawe untuk memeriksa dirinya apakah terjangkit HIV/AIDS ke VCT terus meningkat. "Ini menunjukkan kesadaran masyarakat untuk menghindari penyakit yang mematikan tersebut semakin baik," jelasnya.
Pertama, pernyataan di atas menyiratkan perilaku seksual masyarakat Kota Lhokseumawe berisiko tertular HIV/AIDS sehingga mereka memeriksakan diri ke Klinik VCT (tempat tes HIV di Puskesmas, rumah sakit, dll. yang ditunjuk Kemenkes RI) apakah sudah tertular HIV/AIDS atau belum.
Kedua, ada informasi yang menyesatkan yaitu mengajak masyarakat untuk tes HIV. Ini ngawur karena tidak semua orang melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.Â
Perilaku itu al.: Â sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti passangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Yang dianjurkan tes HIV adalah orang-orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
Ketiga, pernyataan ' .... kesadaran masyarakat untuk menghindari penyakit yang mematikan tersebut semakin baik ...." Tes HIV terjadi di hilir yaitu ketika seseorang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.
Disebutkan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Lhokseumawe mencapai 49 dengan 14 kematian. Angka ini tentulah tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.Â
Kasus yang terderteksi (49) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan laut.
Yang jadi masalah besar adalah kasus yang tidak terdeteksi karena pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi tsb. jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Di bagian lain berita ada penjelasan dr Helizar: "Kita terus mengimbau kepada masyarakat yang merasa pernah melakukan perbuatan yang rentan terkena penyakit mematikan tersebut, seperti suntik narkoba atau hubungan intim bukan dengan istri/suami sendiri, bisa segera melakukan pemeriksaan gratis di VCT. Bila dalam hasil pemeriksaan dinyatakan positif terjangkit, maka identitas pasien pasti dirahasiakan." Â
Yang dianjurkan tes HIV memang orang-orang yang perilaku seksualnya berisiko. Tapi, pernyataan: " .... hubungan intim bukan dengan istri/suami sendiri ...." justru tidak akurat karena risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (bukan dengan istri atau suami sendiri, zina, melacur, selingkuh, dll.),Â
tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual).
Disebutkan juga HIV/AIDS sebagai 'penyakit mematikan'. Ini tidak benar karena belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pengidap HIV/AIDS karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Risiko tertular HIV melalui penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) bisa terjadi kalau memakai narkoba dengan jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran.
Disebutkan pula: Pemeriksaan sejak dini, menurutnya sangat bagus. Sebab jika dinyatakan positif dan masih di tingkat HIV, maka bisa langsung dapat penanganan, seperti konseling dan minum obat secara rutin untuk menekan laju virus, sekaligus menjaga stamina tubuh.
Yang jauh lebih bagus adalah melindungi diri agar tidak tertular HIV. Itu artinya perlu program yang konkret untuk mencegah agar tidak ada (lagi) warga Kota Lhokseumawe yang tertular HIV. Tentu saja ini utopia karena tidaklah mungkin mengawasi perilaku seksual semuar warga, khususnya laki-laki dewasa.
Yang bisa dilakukan secara realistis adalah menurunkan jumlah insiden baru penularan HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK melalui intervensi berupa program yang memaksa laki-laki pakai kondom setiap melakukan hubungan seksual dengan PSK. Namun, hal ini tidak bisa dilakukan di Kota Lhokseumawe karena praktek PSK tidak dilokalisir.
Bisa jadi dr Helizar menepuk dada dengan mengatakan: di Kota Lhokseumawe tidak ada pelacuran!
Ya, secar de jure benar. Tapi, secara de facto, apakah dr Helizar bisa menjamin tidak ada transkasi seks di Kota Lhokseumawe? Apakah dr Helizar bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kota Lhokseumawe yang melakukan perilaku seksual berisiko di luar Kota Lhokseumawe atau di luar negeri?
Langkah konkret yang realistis dilakukan Pemkot Lhokseumawe untuk menanggulangi HIV/AIDS saat ini adalah membuat regulasi yang mewajibkan suami yang istrinya sedang hamil menjalani konseling HIV/AIDS.Â
Setelah itu dilanjutkan tes HIV jika hasil konseling menunjukkan perilaku seksual suami berisiko tertular HIV. Langkah ini menyelamatkan generasi dari kehancuran, meningkatkan produktivitas si ibu dan memutus mata rantai penyebarna HIV melalui suami.
Tanpa langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS, maka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan terus terjadi yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H