tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual).
Disebutkan juga HIV/AIDS sebagai 'penyakit mematikan'. Ini tidak benar karena belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pengidap HIV/AIDS karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Risiko tertular HIV melalui penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) bisa terjadi kalau memakai narkoba dengan jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran.
Disebutkan pula: Pemeriksaan sejak dini, menurutnya sangat bagus. Sebab jika dinyatakan positif dan masih di tingkat HIV, maka bisa langsung dapat penanganan, seperti konseling dan minum obat secara rutin untuk menekan laju virus, sekaligus menjaga stamina tubuh.
Yang jauh lebih bagus adalah melindungi diri agar tidak tertular HIV. Itu artinya perlu program yang konkret untuk mencegah agar tidak ada (lagi) warga Kota Lhokseumawe yang tertular HIV. Tentu saja ini utopia karena tidaklah mungkin mengawasi perilaku seksual semuar warga, khususnya laki-laki dewasa.
Yang bisa dilakukan secara realistis adalah menurunkan jumlah insiden baru penularan HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK melalui intervensi berupa program yang memaksa laki-laki pakai kondom setiap melakukan hubungan seksual dengan PSK. Namun, hal ini tidak bisa dilakukan di Kota Lhokseumawe karena praktek PSK tidak dilokalisir.
Bisa jadi dr Helizar menepuk dada dengan mengatakan: di Kota Lhokseumawe tidak ada pelacuran!
Ya, secar de jure benar. Tapi, secara de facto, apakah dr Helizar bisa menjamin tidak ada transkasi seks di Kota Lhokseumawe? Apakah dr Helizar bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kota Lhokseumawe yang melakukan perilaku seksual berisiko di luar Kota Lhokseumawe atau di luar negeri?
Langkah konkret yang realistis dilakukan Pemkot Lhokseumawe untuk menanggulangi HIV/AIDS saat ini adalah membuat regulasi yang mewajibkan suami yang istrinya sedang hamil menjalani konseling HIV/AIDS.Â
Setelah itu dilanjutkan tes HIV jika hasil konseling menunjukkan perilaku seksual suami berisiko tertular HIV. Langkah ini menyelamatkan generasi dari kehancuran, meningkatkan produktivitas si ibu dan memutus mata rantai penyebarna HIV melalui suami.
Tanpa langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS, maka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan terus terjadi yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *