Pokok masalah mengapa FM, siswi SMAN 3 Lamongan, Jatim, tidak mengambil ijazahnya karena dia menunggak pembayaran gedung sebesar Rp 2 juta yang seharusnya dibayar ketika masuk sekolah di kelas satu. FM kemudian mengirim surat ke Ahok minta bantuan. Tapi, Â banyak berita kemudian melebar ke sana ke mari dan pernyataan kepala sekolah dan instansi terkait pun mengaburkan pokok masalah.
Kalau saja wartawan lebih arif, maka liputan bukan mengejar kepala sekolah dan instansi terkait tapi mencari fakta yaitu murid-murid yang belum melunasi uang pembangunan, dll., apakah mereka bisa mengambil ijazah?
Tidak juga harus di SMAN3 Lamogan, tapi di sekolah lain sebagai gambaran agar alasan FM masuk akal.
Sayang, banyak wartawan yang lebih tertarik mengulas masalah di permukaan dan akhirnya pemberiaan pun melebar yang akhirnya mengaburkan makna yakni ada orang tua siswa yang tidak mampu membayar uang bangku, uang pembangunan, dll.
Kalau saja wartawan bisa mengungkapkan apa yang dialami FM selama tiga tahun, apakah ada teguran dari pihak sekolah terakit dengan utangnya. Ini juga tidak muncul. Fakta-fakta yang merupakan relasi antara FM dengan sekolah tidak muncul dalam berita sehingga semua hanya sekedar informasi  yang bukan fakta empiris sehingga dengan mudah ditampik pihak-pihak yang terkait.
Adalah yang fantastis kalau selama tiga tahun pihak sekolah, dalam hal ini TU SMAN 3 Lamongan, sama sekali tidak pernah menegur atau mengingatkan FM tentang utangnya.
Wartawan pun digiring sehingga tidak ada pertanyaan tentang siswa-siswi yang masih berutang:
Apakah hanya FM yang berutang di SMAN 3 Lamongan dan sekolah-sekolah lain di Lamongan?
Apakah semua siswa-siswi yang masih berutang juga diberikan ijazahnya dari tahun ke tahun?
Dalam keterangannya FM mengatakan " .... selama ini tidak berani datang ke sekolah untuk mengambil ijazah karena masih memiliki tunggakan. Dia berpikir tunggakan adalah kewajiban yang harus dia bayar." (kompas.com, 3/1-2018).
Mengapa kepala sekolah SMAN3 dan Plt Kepala Dinas Pendidikan  Jawa Timur cabang wilayah Lamongan, mengaburkan dan menggelapkan fakta utama yang jadi alasan FM tidak berani ke sekolah mengambil ijazah?
FM jujur dan tahu diri. Ini fakta. Tapi, celakanya kepala sekolah dan pejabat disdik malah mengabaikan fakta yang jadi modal utama untuk kejujuran di masa depan ketika kejujuran jadi barang langka di negeri ini.
Lihat saja di Pengadilan Tipikor semua membantah tuduhan jaksa. Baru satu orang yang jantan mengakui menerima suap yaitu Agus Tjondro, PDI-P, yang mengaku menerima cek perjalanan terkait dengan pemilihan deputy gubernur BI. Sayang, kejujuran Agus diganjar PDI-P dengan pemecatan sedangkan rekan separtainya yang juga dihukum dalam kasus yang sama tidak senasib dengan dia.
FM juga memilih Ahok, mantan Gubernu DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, untuk curhat karena bertolak dari fakta juga. Selama jadi gubernur Ahok selalu menerima keluhan warga, bahkan warga luar DKI, dan langsung memberikan jalan keluar bukan hanya sebatas "PHP" (pemberi harapan palsu) dengan orasi moral: ya, kita tampung, dst ....
Maka, tidaklah elok mengait-ngaitkan FM dengan segala rupa terkait dengan suratnya ke Ahok. Alangkah sedihnya tidak sedikit teman-teman sebaya FM yang mencibir. Mereka-mereka itu lebih mementingkan kepalsuan daripada kejujuran.
Amat disayangkan siswa-siswi yang kemudian menghujat FM. Mereka ternyata tidak bisa berempati (compassion) terkait dengan derita FM selama tiga tahun yang dililit hutang di sekolah.
Lagi-lagi ujian ril terhadap fakta dan kejujuran yang lagi-lagi dikalahkan orasi moral dengan bantuan media yang juta tidak konsisten sebagai agent of change yang memberikan pencerahan karena sebagian mementingkan sensasi dengan balutan informasi yang bias. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H