Seorang rekan wartawan Ibu Kota menghadapi perlakuan yang tidak baik ketika meliput aksi pedofilia di salah satu daerah di Indonesia. Rupanya, bagi masyarakat desa itu pedofilia justru sebagai 'dewa penyelemat" karena memberikan kebutuhan yang diperlukan warga. Imbalannya hanya mengizinkan anak-anak mereka usia 7-12 tahun dijadikan anak asuh, anak angkat yang kemudian dibawa ke negaranya.
Dalam situasi itu tentulah tidak ada manfaatnya mencaci-maki para peadofilia karena masyarakat justru melihat mereka sebagai 'malaikat'. Ini dibenarkan oleh aktivis perlindungan anak yang kerap mendampingi korban pedofilia di Bali, Anggraeni: "Bali itu dianggap surga bagi para pedofil, karena orang tua belum tersosialisasikan apa itu pedofil, bahwa orang-orang asing yang berkedok malaikat, sangat sayang dengan anak-anak, dengan kedok berbahasa Inggris gratis, dengan kedok jadi wisatawan yang sangat baik hati pada anak-anak." (Indonesia masih dianggap sebagai 'lahan subur' bagi pedofilia, BBC Indonesia, 14/7-2017).
Laporan "BBC Indonesia" dengan mengutip pernyataan pejabat Australia menyebutkan bahwa pada tahun 2016, hampir 800 orang dalam daftar pedofilia meninggalkan Australia dan hampir 40 persen melakukan kejahatan seksual terhadap anak di bawah usia 13 tahun.
Entah karena kasus pedofilia di beberapa negara menyangkut warta Australia, pemerintah Negara Kangguru itu pun menerbitkan undang-undang  yang melarang pemberian paspor kepada 20.000 orang yang terdaftar dalam daftar pelaku kejahatan seksual pada anak. Ini UU pertama di dunia yang menyasar pedofilia.
Tentu saja tidak tertutup kemungkinan Indonesia salah satu negara tujuan pedofilia Australia itu, seperti dikatakan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, SH, LLM, ada tiga daerah tujuan pedofilia di Indonesia yaitu Batam, Bali dan Lombok (jambi.tribunnews.com, 4/4-2017), Yang jadi sasaran adalah anak-anak di daerah-daerah miskin di tiga tempat itu.
Ternyata benar karena sejak awal tahun 2017 Â Imigrasi Indonesia sudah menangkal masuk 107 terduga pelaku kejahatan seksual terhadap anak atau pedofilia, dari jumlah itu 92 di antaranya berasal dari Australia. Imigrasi menangkal mereka karena ada informasi dari negara asal.
Praktek pedofilia dijalankan secara konvensional yaitu menjadi 'malaikat' di daerah miskin atau melalui fasilitas online, seperti media sosoial. Sebelum Filipina menerapkan suntik mati bagi pelaku pedofilia negeri itu jadi surga bagi pedofilia. Tapi, sejak hukuman itu diberlakukan tujuan pedofilia pun pindah ke negara-negara lain di Asia Tenggara, salah di antaranya Indonesia.
Kemurahan hati pedofilia itulah yang menyentuh warga miskin karena pemerinrtan setempat an orang-orang berada tidak peduli terhadap mereka. Jargon-jargon moral dengan landasan agama pun sering luput dalam membantu orang-orang miskin karena individulaisme yang sudah mulai merasuki setengah orang di negeri ini.
Lihatlah pengalaman Anggraeni ini ketika mereka mencurigai seorang pedofilia, tapi  pedofilia itu aman karena sangat dilindungi oleh masyarakat dengan alasan laki-laki asing itu sangat baik hati dan dermawan. Memang, pedofilia bukan seperti yang digambarkan media massa, media online dan media sosial serta penjelasan menteri yang tidak bisa membedakan sodomi, pelacuran anak dan pedofilia.
Pedofilia adalah laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan hasrat seksual kepada anak-anak baik laki-laki (seks anal) dan perempuan (seks vaginal) yang berumur antara 7-12 tahun dengan cara-cara yang elegan. Menjadikan anak sebagai anak angkat, anak asuh, ponakan bahkan dijadikan istri. Tentu tidah bagi banyak orang untuk melihat gelagat busuk pedofilia.
Yang perlu diingat pedofilia bukan hanya orang asing (bule), tapi penduduk Indonesia juga ada. Di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta ada kematian anak laki-laki murid SD yang meninggal. Diagnosis medis menunjukkan ada perlukaan di anus anak itu. Korban dijadikan anak angkat oleh pamannya. Sayang pihak rumah sakit tidak melaporkan kasus ini ke polisi.
Ulah pedofilia tidak bisa dianggap remeh karena merusak masa depan anak-anak. Lihatlah ulah Robert Ellis, WN Australia, yang menjadikan 11 anak perempuan berumur 7-17 tahun di Bali jadi korban pedofilia. Dengan jumlah korban sebanyak ini ternyata tidak bisa diketahui masyarakat. Akibat ulahnya itu Ellis diganjar penjatra 15 tahun oleh hakim di PN Denpasar, Bali (Oktober 2016). Hukuman ini terlalu ringan jika dikaitkan dengan trauma 11 gadis remaja itu yang menderita seumur hidup bahkan bisa jadi korban secara sosial di masyarakat.
Untuk itulah yang diperlukan adalah pemberian informasi dalam bentuk advokasi ke masyarakat, terutama masyarakat miskin di pedesaan, tentang pedofilia dengan cara-cara yang dipahami warga bukan melalui seminar atau semilola di hotel berbintang.
Yang perlu diingat jangan sampai pula masyarakat akan menghakimi orang-orang yang memang benar-benar baik hati dan dermawan. Untuk itulah materi penyuluhan perlu dirancang dan lebih pas dilakukan dengan permainan yang menggambarkan cara-cara licik pedofilia dalam mengambil hati orang-orang miskin di pedesaan. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H