Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pak Djarot, Jumlah Kasus HIV/AIDS di Jakarta Peringkat Pertama Nasional

2 Oktober 2017   14:23 Diperbarui: 2 Oktober 2017   14:30 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: healthandlearning.org)

Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menyebut Jakarta berada di peringkat ke-4 terbesar provinsi yang memiliki penderita HIV/AIDS. Ia mengatakan Jakarta berada di bawah Papua, Papua Barat dan Jawa Timur. Ini ada dalam berita "Jakarta Masuk Provinsi Tertinggi Nomor 4 Jumlah Penderita HIV/AIDS" di tribunnews.com, 20/9-2017.

Jika mengacu ke data yang dikeluarkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, melalui laporan triwulanan pada tanggal 24 Mei 2017 berupa kasus HIV/AIDS dari tahun 1987-Maret 2017, maka DKI Jakarta ada pada peringkat pertama secara nasional dalam jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yaitu 55.527 yang terdiri atas 46.758 HIV dan 8.769 AIDS.

Jumlah itu ada di atas Jawa Timur (50.057), Papua (38.984), Jawa Barat (29.939) dan Jawa Tengah (24.569). Jumlah lengkap  per provinsi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

kasus aids per-maret 2017
kasus aids per-maret 2017
Sayang, dalama berita tidak disebutkan sumber yang dikutip oleh Gubernur Djarot. Kalau saja Pak Gubernur dapat informasi yang akurat, maka yang perlu disampaikan adalah di antara kasus yang dilaporkan di Jakarta ada yang bukan penduduk DKI. Tapi, karena mereka tes HIV di Jakarta, maka nama mereka masuk laporan kasus di DKI yang kemudian menambah jumlah kasus.

Di bagian lain dalam berita Pak Gubernur mengatakan " .... para penderita HIV/AIDS itu bisa diobati jika pengobatan dilakukan secara rutin."

Memang, HIV/AIDS ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan. Obat yang ada yaitu obat antiretroviral (ARV) hanya menekan laju duplikasi atau pertambahan virus di dalam darah. Jika HIV masuk ke tubuh seseorang, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalamd an di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS, maka HIV akan menggandakan diri di dalam darah yang jumlahnya bisa sampai triliunan setiap hari.

HIV menggandakan diri di sel-sel darah putih dengan menjadikan sel tsb sebagai 'pabrik'. Setelah terjadi penggandaan sel-sel darah putih yang dijadikan 'pabrik' tadi rusak. Dalam tubuhn sel darah putih adalah sistem kekebalan tubuh. Ketika banyak sel darah putih yang rusak itu artinya sistem kekebalan tubuh rendah dan mudah terserang penyakit.

Pada tahap tertentu sistem kekebalan tubuh yang rendah disebut masa AIDS yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Celakanya, sebelum masa AIDS orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menunjukkan gejala dan ybs. pun tidak mengalami gangguan kesehatan yang khas HIV/AIDS sehingga mereka menyebarkan HIV tanpa mereka sadari.

Obat ARV bukan diminum rutin, tapi diminum seumur hidup ketika CD4 sudah di bawah 350. CD4 diketahui melalui tes laboratorium bagi orang-orang yang mengidap HIV/AIDS.

Disebutkan pula "Selain melakukan pengobatan, Pemprov DKI juga akan menggalakkan upaya pencegahan penyakit mematikan tersebut."

Sampai hari ini belum ada kasus kematian pada pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS, sehingga penyebutan 'penyakit mematikan' adalah ngawur.

Pencegahan macam apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta? Ternyata bukan pencegahan yang konkret, tapi hanya pencegahan dengan retorika moral yaitu " .... pihaknya juga fokus menanamkan nilai positif dalam keseharian masyarakat, agar perilaku masyarakat bisa berubah menjadi lebih sehat."

Orang-orang yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV adalah orang-orang yang sehat, al,:

(a) laki-laki atau perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, dan

(b) laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung.

Nilai positif macam apa, Pak Gubernur?

Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan nilai-nilai negatif. Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual, misalnya, bisa terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, dll.).

Selama Pemprov DKI Jakarta hanya mengedepankan moral dalam menanggulangi HIV/AIDS, maka selama itu pulalah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual berisiko, akan terus terjadi.

Selanjutnya, warga DKI yang tertular HIV, terutama laki-laki dewasa, akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV yang terjadi secara diam-diam merupakan 'bom waktu' yang kelak dakan terjadi 'ledakan AIDS'. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun