Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prostitusi Akan Terus Terjadi Selama Laki-laki Hidung Belang Bebas Stigma

7 September 2017   10:29 Diperbarui: 8 September 2017   09:59 1812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biar pun lokalisasi pelacuran yang di masa Orba disebut sebagai Resos (pusat rehabilitasi dan resosialisasi) pekerja seks komersial (PSK) sudah ditutup, tapi fakta menunjukkan praktek pelacuran tetap dan akan terus terjadi dalam berbagai bentuk.

Seperti yang dibongkar Polres Cianjur, Jawa Barat, ini. Praktek pelacuran menawarkan perempuan-perempuan muda dengan tarif short time Rp 300.000 (Polisi Bongkar Praktik Prostitusi yang Tawarkan Remaja di Cianjur, tribunnews.com, 7/9-2017). Dengan tarif Rp 300.000 (dalam berita tidak dijelaskan transaksi terjadi di mana dan bagaimana dengan sewa tempat) tentulah konsumen pelacuran itu bukan kalangan menengah ke bawah.

Polisi di berbagai daerah di Indonesia terus-menerus membongkar jaringan pelacuran dalam berbagai bentuk, mulai dari yang konvensional sampai dengan peralatan canggih memakai Internet.

Selama ini pelacuran dilihat dengan sudut pandang (angle) moral yaitu perempuan yang menajdi PSK disebut sebagai perempuan nakal, wanita tuna susila (WTS). Ada lagi yang menyebut PSK sebagai 'sampah masyarakat'.

Pertanyaan yang sangat mendasarkan adalah:

- kalau PSK disebut perempuan nakal, apa pula sebutan bagi laki-laki, terutama yang beristri, yang membeli seks PSK?

- - kalau PSK disebut sebagai WTS, lalu apa yang layak sebutan bagi laki-laki, terutama yang beristri, yang membeli seks PSK?

--- kalau PSK disebut sebagai 'sampak masyarakat', lalu apa yang layak sebutan bagi laki-laki, terutama yang beristri, yang membeli seks PSK?

Bahkan instansi resmi, seperti Kementerian Kesehatan (d/h. Departemen Kesehatan), Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), dll. menyebut PSK sebagai 'penjaja seks'. Ini jelas bias gender karena fakta menunjukkan laki-laki yang membawa-bawa, maaf, kemaluannya mencari PSK. Soalnya, dalam KBBI penjaja artinya menjajakan, misalnya, berkeliling kampung. Tidak ada PSK yang berkeliling kampung menawarkan, lagi-lagi maaf, kemaluannya (Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia).

Itu artinya dalam kasus pelacuran yang jadi kambing hitam adalah PSK (baca: perempuan). Pengalaman penulis ketika melatih penceramah agama di Banda Aceh yang diselenggarakan oleh MAP (Medan-Aceh Partnerships) awal tahun 2000 salah satu peserta tidak mau mengubah pola pikirnya tentang PSK.

Menurut peserta ini transaksi seks dalam bentuk pelacuran terjadi karena ada PSK. Padahal, di beberapa negara yang memakai agama sebagai dasar negara secara de jure tidak ada pelacuran, tapi banyak warga dari negara-negara itu yang kemudian terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Secara medis salah satu cara penularan HIV yang paling banyak terjadi adalah melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun