"Semakin Banyak Perempuan di Australia Swa Hamil." Ini judul berita laporan Kellie Scott di australiaplus.com (21/7). Membaca judul berita ini saya malah teringat pada sebuah film, saya lupa judulnya, yang menceritakan upaya seorang laki-laki membunuh seorang perempuan yang hamil melalui proses bayi tabung.
Apa yang terjadi?
Rupanya, sperma yang dipakai perempuan itu adalah sperma laki-laki yang mengejar-ngejar dia. Laki-laki tidak ingin punya keturunan karena dia seorang laki-laki gay. Laki-laki ini mengetahui perjalanan sperma yang dia donorkan ke bank sperma dengan cara mencuri data sehingga dia tahu persis perempuan-perempuan yang memakai spermanya.
Tingkat Keberhasilan Inseminasi
Disebutkan kian banyak perempuan di Australia yang ingin melahirkan anak melalui proses kehamilan, tapi tidak melalui hubungan seksual dengan laki-laki. Mereka melalakukan inseminasi sendiri. Catatan Federasi Inseminasi Buatan (IVF) Australia, jumlah perempuan yang melakukan program bayi tabung atau inseminasi buatan sendiri dalam 10 tahun terakhir sekitar 3 - 4 persen setiap tahun.
Salah satu di antaranya, Hanna Slootjes, 38 tahun, warga Asutralia yang tinggal di Negara Bagian Victoria, hampir putus asa tidak akan bisa punya anak kedua karen perkawinannya kandas setelah punya satu anak. Untunglah seorang teman prianya menyumbangkan sperma sehingga bisa dilakukan proses bayi tabung. Hasilnya, ibu ini punya anak perempuan.
Bayi tabung dengan cara swa hamil juga jadi pilihan bagi perempuan single dan lesbian. Seperti dikatakan oleh Associate Professor Sociologi Deborah Dempsey dari Swinburne University of Technology di Melbourne ini: "Lesbian dan perempuan single sudah menggunakan metode inseminasi sendiri atau di rumah sejak awal tahun 1970-an, dan dalam 10 tahun terakhir tampaknya semakin populer."
Sebagian merasa tidak nyaman kalau mendapatkan sperma dari bank sperma yang didonorkan orang-orang yang tidak mereka kenal. Itulah sebabnya sebagian dari mereka menerima donor sperma dari teman yang mereka kenal. Mereka menyebut laki-laki pendonor sperma sebagai 'ayah' tapi bukan 'bapak' dari anak yang mereka lahirkan. Mungkin, bisa disebut orang tua biologislah. Ini juga diperlukan jika kelak si anak ingin tahu siapa bapaknya.
Namun, bisa terjadi juga kelak masalah karena bisa saja laki-laki yang mendonorkan sperma bisa saja berubah pikiran. Misalnya, ingin hidup bersama anak-anaknya. Untuk itulah donor sperma informal antar teman memakai jasa konsultan hukum untuk membuat perjanjian bahwa donatur sperma tersebut 'tidak memiliki hak dan tanggung jawab." Tapi, ada juga kesempatan bagi pendonor untuk bertemu dengan anaknya yang diatur dalam perjanjian tsb.
Direktur medis IVF Australia Peter Illingworth, mengatakan bahwa kemungkinan hamil menggunakan inseminasi buatan, dengan melakukan hubungan seksual langsung, hampir sama. Tapi, "Inseminasi buatan memiliki peluang berhasil sedikit lebih tinggi dibandingkan hubungan seksual, karena spermanya langsung ditempatkan di saluran kandungan, dan kami juga menggunakan obat-obatan penyubur."
Memang, ada juga beberapa risiko inseminasi buatan, seperti infeksi atau penyakit bawaan donor. Tapi, perempuan-perempuan yang melakukan inseminasi buatan sudah memperlajari cara-cara yang aman dan menghindarkan efek buruknya.
Ternyata beberapa perempuan di Indonesia juga sudah ada yang melahirkan anak dengan proses kehamilan melalui hubungan seksual. Sebuah liputan untuk Tabloid "MUTIARA' di tahun 1990-an menunjukkan beberapa perempuan ingin punya anak dari 'suami' yang jadi idola mereka, tapi tidak dengan pernikahan atau perkawinan.
Ditinggalkan Setelah Hamil
Ini contohnya. Sebut saja, Nia, seorang perempuan muda manajer di sebuah perusahaan keuangan di Jakarta tiap sore memakai pakaian seperti layaknya pegawai negeri dan karyawan swasta. Dia pun menunggu bus di halte. Dia mencari-cari laki-laki yang dia anggap memenuhi harapannya sebagai ayah dari anaknya.
Laki-laki yang dipilihnya pun dia jadikan pacar dan mengajaknya ke rumah yang dia kontrak tentu saja dengan identitas palsu. Setelah ada kepastian hamil secara medis dia kembali ke 'habitat'-nya dengan meninggalkan laki-laki tadi yang tentu saja akan kebingungan.
Yang lain, sebut saja Ani, ingin mengandung anak dari seorang dosen. Akhirnya dia mendapatkan pujaan hatinya seorang dosen di sebuah PTN di Jakarta. Sama seperti Nia, Ani pun meninggalkan Pak Dosen setela dapat kepastian hamil dari dokter. Pak Dosen bisa juga akan bingung tujuh keliling.
Kasus-kasus di Australia dan Jakarta itu merupakan realitas sosial dalam kehidupan di social settings yang tentu saja akan lain persoalannya kalau dibawa ke ranah norma, moral, agama dan hukum.
Yang perlu kita dalami adalah: Mengapa kasus-kasus itu bisa terjadi?
Jawabannya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Sama halnya dengan jawaban atas pertanyaan ini:
Mengapa Saudara tidak merokok?
Mengapa Saudara merokok?
Yang jelas waktu itu seorang psikolog yang diwawncarai penulis ketika itu mengatakan kondisi-kondisi itu bukan fenomena, tapi realitas sosial dalam kehidupan keseharian yang muncul dengan cara-cara yang jujur tanpa dibalut dengan kebohongan terkait dengan lika-liku kepahitan dalam kehidupan suami-istri dalam ikatan pernikahan yang sah, kawin kontrak atau 'kumpul kebo'.
Misalnya, perkawainan atau pernikahan yang akhirnya kandas melalui perceraian dengan berbagai macam alasan yang dijadikan sebagai penyebab gugatan perceraian.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H