Ditinggalkan Setelah Hamil
Ini contohnya. Sebut saja, Nia, seorang perempuan muda manajer di sebuah perusahaan keuangan di Jakarta tiap sore memakai pakaian seperti layaknya pegawai negeri dan karyawan swasta. Dia pun menunggu bus di halte. Dia mencari-cari laki-laki yang dia anggap memenuhi harapannya sebagai ayah dari anaknya.
Laki-laki yang dipilihnya pun dia jadikan pacar dan mengajaknya ke rumah yang dia kontrak tentu saja dengan identitas palsu. Setelah ada kepastian hamil secara medis dia kembali ke 'habitat'-nya dengan meninggalkan laki-laki tadi yang tentu saja akan kebingungan.
Yang lain, sebut saja Ani, ingin mengandung anak dari seorang dosen. Akhirnya dia mendapatkan pujaan hatinya seorang dosen di sebuah PTN di Jakarta. Sama seperti Nia, Ani pun meninggalkan Pak Dosen setela dapat kepastian hamil dari dokter. Pak Dosen bisa juga akan bingung tujuh keliling.
Kasus-kasus di Australia dan Jakarta itu merupakan realitas sosial dalam kehidupan di social settings yang tentu saja akan lain persoalannya kalau dibawa ke ranah norma, moral, agama dan hukum.
Yang perlu kita dalami adalah: Mengapa kasus-kasus itu bisa terjadi?
Jawabannya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Sama halnya dengan jawaban atas pertanyaan ini:
Mengapa Saudara tidak merokok?
Mengapa Saudara merokok?
Yang jelas waktu itu seorang psikolog yang diwawncarai penulis ketika itu mengatakan kondisi-kondisi itu bukan fenomena, tapi realitas sosial dalam kehidupan keseharian yang muncul dengan cara-cara yang jujur tanpa dibalut dengan kebohongan terkait dengan lika-liku kepahitan dalam kehidupan suami-istri dalam ikatan pernikahan yang sah, kawin kontrak atau 'kumpul kebo'.
Misalnya, perkawainan atau pernikahan yang akhirnya kandas melalui perceraian dengan berbagai macam alasan yang dijadikan sebagai penyebab gugatan perceraian.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H