Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pornografi Hiburan Tak Perlu Ditiru

5 Juli 2017   06:23 Diperbarui: 5 Juli 2017   06:35 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

"Pornografi dirancang untuk hiburan dan itu adalah pertunjukan. Itu tidak mencerminkan apa yang orang perlu lakukan di dunia nyata." Ini disebutkan oleh Peneliti di Burnet Institute, Dr Megan Lim, dalam laporan australiaplus.com (Remaja Australia Semakin Banyak Menonton Pornografi, 30/7-2017).

Celakanya, polisi sering memberikan 'panggung' kepada pelaku kejahatan seksual dengan mengatakan pelaku melakukan kejahatan seksual karena terpengaruh pornografi (Menggugat Pemberian "Panggung" kepada Pelaku Kejahatan Seksual).

Pembelaan

Bahkan, dua menteri perempuan di Kabinet Kerja juga memberikan pembelaan bagi 14 laki-laki begundal pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap remaja putri umur 14 tahun di Bengkulu (Publikasi Motif Kejahatan di Media Massa Jadi Inspirasi: "Saya Memerkosa Karena Pengaruh Miras dan Pornografi, Bu M**t**i ....").

Perntaan Dr Lim itu jelas dan tegas. Film dan video porno dibuat untuk pertunjukan sebagai bahan hiburan belaka. Riset yang dijalankan oleh Dr Lim terhadap remaja Australia umur 15-29 tahun menunjukkan mereka sudah menonton film porno lebih awal, termasuk remaja putri. Bukan sekedar menonton, tapi mereka menonton film porno dengan frekuensi yang tinggi alias sering.

Kalau saja ada penelitian, tidak sekedar opini, di Indonesia tentu hasilnya tidak jauh berbeda karena banyak kasus kejahatan seksual yang ditangani polisi dengan alasan terpengaruh pornografi.

Riset Dr Lim dilakukan berdasarkan survei daring terhadap 941 partisipan yang direkrut dari media sosial pada tahun 2015. Hasil Riset ini dipublikasikan di "Australian and New Zealand Journal of Public Health". Hasilnya, remaja laki-laki sudah menonton film atau video porno pertama kali pada umur 13 tahun, dan umur 16 tahun pada remaja perempuan. Hasil riset juga menunjukkan 80 persen remaja laki-laki menonton film porno tiap pekan, sedangkan dua pertiga remaja putri mengaku menonton film porno paling tidak sekali sebulan.

Perilaku remaja putra dan remaja putri itu pun erat kaitannya dengan kesehatan mental dan aktivitas seksual. Dengan menonton film porno secara rutin tentu saja menjadi pemicu libido yang berakhir pada penyaluran dorongan seksual. Biar pun banyak yang mengatakan bahwa dorongan seksual bisa dialihkan dengan kegiatan lain, yang jelas dorongan seksual baru 'berhenti' jika disalurkan secara seksual, seperti onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan. Yang ekstrim akan menyalurkan dorongan seksual dengan hubungan seksual.

Jika hubungan seksual dilakukan dengan pacar atau teman tanpa menerapkan seks aman tentulah ada risiko kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) yang kelak menimbulkan persoalan.

Pendidikan Seksualitas

Yang lebih celaka ketika epidemi IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singas/sifilis, virus Hepatitis B, virus kanker serviks, klamidia, dll.) dan HIV/AIDS sudah tinggi prevalensinya, maka ada risiko tertular IMS atau HIV/AID atau kedua-duanya sekaligus melalui hubungan seksual yang tidak aman (laki-laki tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual) dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Memang, Dr Lim tidak menyimpulkan bahwa menonton pornografi adalah hal yang buruk dan mengakibatkan hal lain, tapi kebiasaan itu paling tidak mempengaruhi kesehatan mental dan seksualitas. Dr Lim juga mengatakan temuan ini punya berimplikasi penting untuk mengembangkan pendidikan seksual yang relevan.

Informasi tentang seksual di lingkungan keluarga, seperti menstruasi dan mimpi basah saja, hampir tidak ada. Begitu juga di sekolah dan di media massa serta media sosial, maka Dr Lim menyimpulkan: "Jadi anak muda mungkin mencari informasi lebih jauh tentang hal yang mereka ingin tahu, dan satu-satunya cara yang mereka bisa akses adalah melalui pornografi."

"Hipotesa kami remaja ini luput dari pendidikan seks tradisional dan bahkan di media," kata Dr Lim. Untuk itulah Dr Lim melihat perlu ada pendidikan seksualitas di sekolah, tapi tidak menjelaskan dengan rinci misalnya bagaimana melakukan seks anal.

Upaya memberikan pendidikan seksualitas di sekolah sudah bergulir sejak lama tapi terus menuai pro dan kontra. Maka, yang jauh lebih arif adalah melakukannya di lingkungan keluarga seperti yang dijalankan keluarga Jepang ini (Anda Bisa Tiru Cara Keluarga Jepang Ini Lakukan Edukasi Seks).

Tidak harus ilmiah. Mulailah dengan memberikan informasi tentu organ-organ seksual, menstruasi dan mimpi basah. Memang, tidak semudah diucapkan tapi sudah mendesak untuk dilakukan karena insiden KTD dan kasus IMS dan HIV/AIDS sudah banyak terdeteksi di kalangan remaja. *

Jakal Km 5,6 Yogyakarta, 5/7-2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun