Karena arus informasi yang tidak komprehensif dan konsisten tentang investasi atau penanaman modal, terutama modal asing, banyak kalangan yang tidak senang bahkan antipati. Kondisinya kian runyam karena sebagian dari mereka tidak langsung menikmati kehadiran investasi tsb. Misalnya, ceramah agamawan ini: “Kita tidak mau negara kita dijajah asing apalagi ‘aseng’.” Ini ‘kan menyesatkan. Tapi, mereka tidak semerta bisa kita salahkan karena arus informasi akurat tentang investasi asing tidak merata.
Itu salah satu bukti bahwa pemahaman masyarakat luas terhadap investasi yang miring. Padahal, ada ketentuan bahwa pemodal (investor) yang menamam modal di Indonesia, disebut pemberi kerja yang bukan perseorangan, bisa membawa serta tenaga kerja atau tenaga kerja asing (TKA) dalam jumlah terbatas dan kualifikasi tertentu. Ini diatur di UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Serap Tenaga Kerja
Di luar ketentuan UU itu ada pula perjanjian bilateral RI-Cina terkait dengan pembangunan infrastruktur yang diwujudkan dalam bentuk pinjaman yang memberikan kesempatan kepada investor untuk membawa TKA tidak hanya dengan kualifikasi tertentu tapi juga tenga kasar. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian terjadi kegaduhan ketika ada tenaga kerja kasar asal Cina yang bekerja di Indonesia.
Tidak ada pilihan bagi pemerintah karena dana dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tidak mungkin dipakai untuk pembangnan infrastruktur yang sangat besar. Sampai-sampai Presiden Joko Widodo (Jokowi) berani melakukan hal yang tidak populis dan merusak citra beliau yaitu menghapus subsidi BBM. Reaksi keras muncul. Tapi, Presiden Jokowi punya alasan kuat yaitu subsidi dipakai membangun infrastruktur agar dapat dinikmati semua lapisan masyarakat karena subsidi BBM hanya menguntungkan segelintir orang yaitu pemilik kendaraan bermotor yang justru berkantung tebal.
Subsidi BBM yang sudah terjadi sejak Orde Baru tidak tangung-tanggung. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yaitu Rp 300 triliun setiap tahun (kompas.com, 21/12-2016. Presiden Jokowi memberikan gambaran ril: .... kalau infrastruktur yang dibangun dengan anggaran pengalihan subsidi BBM sudah jadi, rel kereta apinya jadi, tolnya jadi, pelabuhannya jadi, airport-nya jadi, pengalihan subsidi juga pertanian selesai, nanti akan rakyat juga akan merasakan betapa perubahan itu akan kelihatan (merdeka.com, 20/4-2015).
Presiden Jokowi benar karena selama ini pembangunan infrastruktur hanya di Pulau Jawa (Jawa sentris) yang diubah oleh Presiden Jokowi dengan filosofi ‘membangun dari pinggir’ sebagai Indonesia sentris. Maka, pembangunan jalan tol dan rel kereta api (KA) juga dilakukan di luar Jawa, jalan-jalan di perbatasan pun dibangun.
Investasi asing merupakan aspek penting dalam mendorong perekonomian nasional, membuka lapangan kerja (baru), memberikan kontribusi bagi perusahaan lain di sektor hulu dan hilir. Catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan sepanjang tahun 2016 jumlah investasi di Indonesia nemcapai Rp 612,8 triliun. Jumlah ini meningkat 12,4 persen dari investasi tahun lalu. Investasi ini menyerap 1,4 juta tenaga kerja. Yang jadi masalah penanaman modal terpusat di Pulau Jawa (53,64 persen) sehingga penyerapan tenaga kerja pun terjadi di Jawa.
Ada kesalahpamahan yang sangat mendasar yaitu terkesan investasi asing akan jadi milik asing. Ini yang keliru karena yang dilakukan al. adalah sistem BOT (build, operate and transfer). Investor membangun dengan modal dan tenaga kerja sendiri, kemudian mengoperasikan dalam jangka waktu yang disepakti, selanjutnya setelah selesai kontrak diserahkan sepenuhnya ke Indonesia.
Data BKPM menunjukkan Investor terbesar adalah Singapura, Jepang, Cina, Hong Kong, Belanda, dll. Sedangkan daerah yang jadi sasaran investasi adalah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dst. Pemerintah Indonesia melalui paket ekonomi ke-10 membuka 100 persen investasi asing di 35 bidang usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, antara lain jasa penunjang kesehatan, farmasi, pariwisata dan industri film (BBC Indonesia, 12/2-2016).
Selain membuka usaha baru dan menampung tenaga kerja investasi juga menyumbangkan untuk devisa melalui pembayaran berbagai jenis pajak. Ini tidak dirasakan warga di sekitar pabrik, sehingga banyak yang mencibir. Untuk itulah pemerintah perlu menggenjot penyaluran dana CSR (corporate social responsibility) agar benar-benar dirasakan warga karena selama ini dana tsb. sering ‘tidak tepat sasaran’, al. dipakai instansi, dll.
TKA Di-blow up
Sedangkan modal dalam negeri justru dibawa ke luar negeri. Catatan Kementerian Keuangan menunjukkan ada Rp 11.000 triliun uang WNI di luar negeri (finance.detik.com, 1/8-2016). Sedangkan Berdasarkan kajian Bank Indonesia (BI), nilainya mencapai Rp 3.147 triliun (koran-sindo.com, 26/4-2016). Dari jumlah ini diperkirakan 82,7 persen ‘diparkir’ di Singapura. Pemberlakuan tax amnesty (pengampunan pajak) tidak berhasil menarik semua dana WNI dari luar negeri. Yang berhasil dibawa masuk hanya 14,6 persen dari target sehingga tidak cukup besar bagi dunia perbankan untuk disalurkan ke sektor kredit sebagai modal usaha.
Namun, kalau hanya mengandalkan subsitusi subsidi BBM itu pembangunan infrastruktur tidak akan merata. Dalam kaitan inilah pemerintah mencari dana talangan dalam bentuk pinjaman yang diwujudkan dengan sekaligus pembangunannya. Dalam wujudnya pinjaman ini adalah penanaman modal asing. Tentu konsekuensinya ada TKA yang dibawa serta oleh pemodal.
Celakanya, tenaga kerja kasar itu pun di-blow up dengan cara-cara yang tidak etis, misalnya dengan menyebutkan bahwa akan ada 10 juta tenaga kerja Cina ke Indonesia. Ini diplintir karena faktanya tidak ada perjanjikan bahwa akan ada 10 juta tenaga kerja Cina. Yang dilakukan pemerintah adalah kesepakatan dengan Cina tentang pariwisata yaitu Cina didorong untuk memasukkan (inbound) 10 juta wisatawan ke Indonesia.
Karena informasi yang akurat tidak mengalir dengan deras dan luas terkait dengan modal asing dan TKA sehingga masyarakat, khususnya angkatan kerja, merasa terancam. Apalagi, ada organisasi tenaga kerja yang justru tidak memberikan informasi yang akuat karena ‘anti asing’ sehingga menambah kisruh suasana. Ini bisa terjadi karena kualitas dan kualifiaski tenaga kerja lokal kalah bersaing dengan TKA.
BKPM sebagai instansi yang mengurusi investasi memegang peranan yang penting dalam memberikan wawasan yang luas bagi masyarakat terkait dengan kehadiran investor asing. Tapi, karena selama puluhan tahun masyarakat sudah tidak percaya kepada instansi, maka akan lebih efektif jika upaya dan usaha menyebarluaskan informasi yang komprehensif dilakukan oleh pihak lain, seperti LSM dengan memanfaatkan media massa dan media sosial.
Sertifikasi
Wawasan yang luas tentang investasi, investor dan TKA tidak bisa lagi ditawar-tawar karena arus globalisasi. Jika dikaitkan dengan pasar bebas ASEAN yang dikenal sebagai Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA) yang disepakati oleh Brune, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992, kemudian Vietnam menyusul pada tahun 1995, selanjutnya diikuti oleh Laos dan Myanmar pada 1997 serta Kamboja pada tahun 1999. Dengan AFTA, dikenal juga sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maka pasar kerja di semua negara ASEAN akan terbuka. Tidak ada lagi sekat-sekat dengan aturan karena semua tergantung pada sertifikasi. Celakanya, sejak kesepakatan ditandatangani tidak ada upaya untuk meningkatkan kualitas dan kualifikasi tenga kerja nasional untuk mencapai standar tertentu.
Kondisinya kian parah karena tidak banyak perusahaan nasional yang membenahi diri agar bisa memperoleh sertifikasi internasional, seperti sertifikat ISO yang diterbitkan oleh International Organization for Standardization (ISO). Memang, beberapa perusahaan sudah mendapat sertifikasi ISO, tapi itu hanya untuk salah satu bagian dalam jaringan kerja perusahaan tsb. Misalnya, sertikasi ISO untuk bagian pengaduan. Dengan cara ini manajeman perusahaan berharap bagian atau seksi yang terkait akan berbenah untuk mendukung bagian pengaduan. Tapi, ternyata tidak berjalan mulus sehingga realisasi pengaduan tidak seperti yang dijanjikan.
Menarik investasi ke Indonesia tidaklah mudah karena banyak faktor yang menghambat, seperti perizinan sampai pungli. Selain itu peraturan pun tumpang tindih karena otonomi daerah yang kebablasan. Peraturan pemerintah pun bisa disalib oleh peraturan daerah karena otonomi. Untuk izin eksplorasi migas, misalnya, ada 400-an izin yang harus diurus. Dalam kaitan inilah SKK Migas kelimpungan untuk mendorong investasi di sektor migas.
Pemerintah kerja keras memangkas mata rantai peraturan, al. mencabut peraturan daerah (Perda) yang menghambat investasi. Ini dilakukan oleh Presiden Jokowi sebagai jawaban bagi investor yang mengeluh karena selain banyak peizinan juga memakan waktu yang lama. Celakanya, upaya Presiden Jokowi memutus mata rantai yang menghambat investasi itu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) justru dihadang dengan membatalkan wewenang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk mencabut Perda yang menghambat laju investasi.
Friksi Sosial
Perda-perda yang menghambat investasi itu dibuat untuk mendapatkan bagian tapi dengan cara yang tidak efisien dan cenderung memberikan ruang bagi aparat menjalakan pungli, suap dan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah membuktikan dampak buruk dari peraturan di daerah yang mempunyai celah penyupaan dengan melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di beberapa daerah.
Ternyata tidak hanya masyarakat yang tidak siap dan tidak memahami peran sebagai pendukung iklim investasi (asing) di Indonesia. Jajaran pemerintahan dan tokoh-tokoh masyarakan pun banyak yang mendorong sikap dan kondisi yang melemahkan dunia investasi yaitu mempersulit perizinan dan memercikkan isu-isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Salah satu faktor yang menjadi penarik modal adalah kepastian hukum dan keamanan. Terkait dengan kepastian hukum pemerintah terus berupaya menguatkan posisi penaman modal melalui peraturan. Namun, dengan keputusan MK itu muncul lagi persoalan baru yaitu perizinan di daerah tidak bisa lagi dikontrol oleh pusat.
Keamaman lain adalah sikap sebagian buruh yag terbabung organisasi perburuhan yang memakai cara-cara di luar hukum untuk memaksa buruh mengikuti mereka melakukan unjuk rasa dengan melakujkan sweeping ke pabrik-pabrik. Ini langkah yang tidak terpuji karena menuntuk hak dengan menginjak-injak hak buruh lain untuk bekerja dengan tenang. Pemerintah sudah menyiapkan cara-cara yang beradab dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan yaitu melalui peradilan.
Friksi-friksi sosial yang terjadi secara horizontal dengan muatan SARA juga jadi faktor penting bagi pemodal. Langkah tegas pemerintah menanggulangi radikalisme membawa angin segar bagi dunia investasi nasional. Bahkan, organisasi buruh pun ada yang memaksakan unjuk rasa di saat terjadi unjuk rasa dengan membawa-bawa agama. Ini ‘kan sudah masuk dalam kategori ‘radikalisme’ karena sudah ditunggangi kepentingan politik praktis di luar pemerintahan yang sah.
Maka, tidak ada pilihan lain selain melakukan sosialisasi yang gencar terkait dengan investor, investasi dan TKA melalui berbagai saluran. Perlu juga dipikirkan ‘menumpangkan’ isu ini ke pelajaran di sekolah, seperti pada mata pelajaran ekonomi sehingga sejak dini anak-anak sudah memahami semua hal yang terkait dengan investasi dan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H