Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Persepsi Miring terhadap Investasi Asing di Indonesia

1 Mei 2017   20:55 Diperbarui: 1 Mei 2017   21:20 1490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Repro: Renewable Energy World)

TKA Di-blow up

Sedangkan modal dalam negeri justru dibawa ke luar negeri. Catatan Kementerian Keuangan menunjukkan ada Rp 11.000 triliun uang WNI di luar negeri (finance.detik.com, 1/8-2016). Sedangkan Berdasarkan kajian Bank Indonesia (BI), nilainya mencapai Rp 3.147 triliun (koran-sindo.com, 26/4-2016). Dari jumlah ini diperkirakan 82,7 persen ‘diparkir’ di Singapura. Pemberlakuan tax amnesty (pengampunan pajak) tidak berhasil menarik semua dana WNI dari luar negeri. Yang berhasil dibawa masuk hanya 14,6 persen dari target sehingga tidak cukup besar bagi dunia perbankan untuk disalurkan ke sektor kredit sebagai modal usaha.

Namun, kalau hanya mengandalkan subsitusi subsidi BBM itu pembangunan infrastruktur tidak akan merata. Dalam kaitan inilah pemerintah mencari dana talangan dalam bentuk pinjaman yang diwujudkan dengan sekaligus pembangunannya. Dalam wujudnya pinjaman ini adalah penanaman modal asing. Tentu konsekuensinya ada TKA yang dibawa serta oleh pemodal.

Celakanya, tenaga kerja kasar itu pun di-blow up dengan cara-cara yang tidak etis, misalnya dengan menyebutkan bahwa akan ada 10 juta tenaga kerja Cina ke Indonesia. Ini diplintir karena faktanya tidak ada perjanjikan bahwa akan ada 10 juta tenaga kerja Cina. Yang dilakukan pemerintah adalah kesepakatan dengan Cina tentang pariwisata yaitu Cina didorong untuk memasukkan (inbound) 10 juta wisatawan ke Indonesia.

Karena informasi yang akurat tidak mengalir dengan deras dan luas terkait dengan modal asing dan TKA sehingga masyarakat, khususnya angkatan kerja, merasa terancam. Apalagi, ada organisasi tenaga kerja yang justru tidak memberikan informasi yang akuat karena ‘anti asing’ sehingga menambah kisruh suasana. Ini bisa terjadi karena kualitas dan kualifiaski tenaga kerja lokal kalah bersaing dengan TKA.

BKPM sebagai instansi yang mengurusi investasi memegang peranan yang penting dalam memberikan wawasan yang luas bagi masyarakat terkait dengan kehadiran investor asing. Tapi, karena selama puluhan tahun masyarakat sudah tidak percaya kepada instansi, maka akan lebih efektif jika upaya dan usaha menyebarluaskan informasi yang komprehensif dilakukan oleh pihak lain, seperti LSM dengan memanfaatkan media massa dan media sosial.

Sertifikasi

Wawasan yang luas tentang investasi, investor dan TKA tidak bisa lagi ditawar-tawar karena arus globalisasi. Jika dikaitkan dengan pasar bebas ASEAN yang dikenal sebagai Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA) yang disepakati oleh Brune, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992, kemudian Vietnam menyusul pada tahun 1995, selanjutnya diikuti oleh Laos dan Myanmar pada 1997 serta Kamboja pada tahun 1999. Dengan AFTA, dikenal juga sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maka pasar kerja di semua negara ASEAN akan terbuka. Tidak ada lagi sekat-sekat dengan aturan karena semua tergantung pada sertifikasi. Celakanya, sejak kesepakatan ditandatangani tidak ada upaya untuk meningkatkan kualitas dan kualifikasi tenga kerja nasional untuk mencapai standar tertentu.

Kondisinya kian parah karena tidak banyak perusahaan nasional yang membenahi diri agar bisa memperoleh sertifikasi internasional, seperti sertifikat ISO yang diterbitkan oleh International Organization for Standardization (ISO). Memang, beberapa perusahaan sudah mendapat sertifikasi ISO, tapi itu hanya untuk salah satu bagian dalam jaringan kerja perusahaan tsb. Misalnya, sertikasi ISO untuk bagian pengaduan. Dengan cara ini manajeman perusahaan berharap bagian atau seksi yang terkait akan berbenah untuk mendukung bagian pengaduan. Tapi, ternyata tidak berjalan mulus sehingga realisasi pengaduan tidak seperti yang dijanjikan.

Menarik investasi ke Indonesia tidaklah mudah karena banyak faktor yang menghambat, seperti perizinan sampai pungli. Selain itu peraturan pun tumpang tindih karena otonomi daerah yang kebablasan. Peraturan pemerintah pun bisa disalib oleh peraturan daerah karena otonomi. Untuk izin eksplorasi migas, misalnya, ada 400-an izin yang harus diurus. Dalam kaitan inilah SKK Migas kelimpungan untuk mendorong investasi di sektor migas.

Pemerintah kerja keras memangkas mata rantai peraturan, al. mencabut peraturan daerah (Perda) yang menghambat investasi. Ini dilakukan oleh Presiden Jokowi sebagai jawaban bagi investor yang mengeluh karena selain banyak peizinan juga memakan waktu yang lama. Celakanya, upaya Presiden Jokowi memutus mata rantai yang menghambat investasi itu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) justru dihadang dengan membatalkan wewenang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk mencabut Perda yang menghambat laju investasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun