Bayangkan ketika seseorang berniat memerkosa akan meminum miras dan menonton video porno sebelum melakukan perkosaan sebagai bagian dari pembenaran tindakannya berdasarkan ‘pembelaan’ dua menteri perempuan itu.
Dua menteri itu boleh-boleh saja “mengumbar syahwat” untuk menguatkan usul mereka membuat aturan tentang miras dan pornografi, tapi tidak dengan membela pelaku kejahatan di depan publik melalui media massa yang bisa menjadi inspirasi dan penggiringan opini publik yang merugikan korban dan calon-calon korban.
Dalam berita “Korban Sodomi Berani Lapor karena Termotivasi Kasus Saipul Jamil” disebutkan: .... seorang pemuda MS (18) asal Dusun Tepus, Desa Wonoroto, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, diamankan polisi lantaran diduga telah mencabuli 15 anak-anak di bawah umur.
Hasil pemeriksaan sementara, kata Purwanto (Kepala Polsek Windusari, Kabupaten Magelang), perilaku menyimpang pelaku disebabkan kebiasaan pelaku yang sering melihat adegan porno melalui ponselnya. (kompas.com, 14/3-2016).
Sodomi dan Perkosaan
Disebutkan ‘perilaku menyimpang pelaku disebabkan kebiasaan pelaku yang sering melihat adegan porno melalui ponselnya’ merupakan pembelaan dan pembenaran tindakan asusila MS. Banyak orang nonton adegan porno bukan hanya di ponsel tapi di layar laptop atau di dinding yang dijadikan layar projentor (LCD) tapi tidak melakukan perkosaan atau sodomi.
Maka, persoalan bukan pada adegan porno, tapi pada diri MS sendiri.
Celakanya, wartawan yang menulis berita itu rupanya tidak jeli karena guru ini tidak hanya melakukan sodomi tapi juga perkosaan “Rinciannya, 4 siswa mengaku disodomi dan 2 siswa lainnya dicabuli.” Dicabuli di sini adalah melakukan hubungan seks vaginal. Lalu, apakah juga dulu guru ini diperkosa secara vaginal?