“Tolong, ibu hamil berikan tempat duduk.” “Berikan tempat duduk kepada ibu yang bawa anak.” Inilah antara lain yang sering diteriakkan kondektur bus TransJakarta dan Pam di KRL kepada penumpang.
Mengapa mereka tidak sensitif?
Banyak di antara penumpang yang ‘sibuk’ dengan ponsel dan sebagian lagi ‘tertidur’ sehingga tidak melihat skala prioritas yang berhak duduk. Saat itu mereka terhubung dengan ribuan bahkan belasan ribu ‘teman’ sesama pengguna media sosial, seperti WhatsApp, Twitter, Instagram,You Tube, dll., tapi pada saat yang sama mereka terisolasi dari lingkungannya di dalam busway atau gerbong KRL.
Risiko Kematian
Sebuah studi baru, seperti dilaporkan VOA Indonesia (Penggunaan Media Sosial Berlebihan, Bisa Picu Isolasi Sosial, 9/3-2017), menyebutkan orang dewasa muda yang menghabiskan banyak waktu untuk mencari hubungan sosial di media sosial malah bisa merasa terisolasi secara sosial.
Banyak di antara penumpang bus TransJakarta dan KRL yang memegang ponsel di salah satu tangannya sedasngkan tangan yang lain memegang tas sehingga mereka kesulitan berpegangan. Ada yang memakai siku untuk manahan badan. Ada pula yang berusaha agar tetap tegak. Ponsel terhubungan ke telinga kiri dan kanan dengan earphone sehingga suasana ril tidak bisa mereka dengarkan.
Studi tersebut menemukan orang-orang yang menggunakan media sosial lebih dari dua jam per hari justru "berpeluang dua kali lebih besar untuk merasakan isolasi sosial dibanding rekan-rekan mereka yang menghabiskan kurang dari setengah jam di media sosial setiap hari."
Sejak harga ponsel yang digerakkan Android mulai terjangkau kalangan menengah ke bawah, bahkan ada yang berharga di bawa Rp 1 juta, ponsel pun dipakai untuk keperluan media sosial. Belakangan karena begitu mudahnya menyebarkan kabar melalui media sosial mulailah muncul penyebarluasan ujaran kebencian (hate speech), fitnah, adu-domba, SARA, dll.
Tidak hanya sampai di situ ada pula kelompok yang sengaja merancang dengan menulis berita bohong yang dikenal sebagai hoax. Mereka menggalang pengguna media sosial dengan imbalan uang jika mempunyai jaringan yang banyak sebagai tujuan menyebarkan hoax. Celakanya, hoax dirancang sebagai ‘berita’ yang dikesankan benar sehingga banyak yang terkecoh. Hoax adalah ‘berita’ berupa kebencian tapi ‘pas’ bagi sebagian pengguna media sosial karena mereka mencari kata kunci (tag) dengan kebencian yang ada di hati mereka.
Itulah sebabnya hoax tidak akan pernah hilang karena ‘the haters’ akan terus mencari ‘berita’ dengan kata kunci kebencian mereka ("Penggemar" Hoax Justru Mengabaikan Berita Faktual di Media Mainstream).
Selain isolasi sosial peneliti peneliti dari University of Pittsburgh School of Medicine juga menambahkan bahwa peningkatan isolasi sosial telah dikaitkan dengan "peningkatan risiko kematian”, seperti ditulis di American Journal of Preventive Medicine. Memang, kebencian merupakan ‘penyakit hati’ yang bisa membuat seseorang stres yang kemudian bermuara pada depresi karena kebencian mereka tak kunjung selesai. Sedangkan yang dibenci justru dapat simpati luas.
Keterasingan
Sudah jadi pemandangan sehari-hari di angkutan umum, bahkan di kabin kapal terbang walaupun pramugari sudah melarang tapi tetap saja ada yang memakai ponsel. Padahal, sudah diberitahu berulang-ulang bahwa sinyal ponsel bisa menggang sinyal komunikasi kapal terbang, terutama sinyal tanda kebarakaran dari bagasi. Tapi, inilah bentuk lain dari terisolasi secara sosial karena mereka menempatkan diri sebagai individu dengan kepentingan pribadi semata. Tapi, ketika kapal terbang terguncang kabin pun penuh dengan desis nama Tuhan (Ketika Kabin Kapal Terbang Jadi "Rumah Ibadah").
Keterasingan secara sosial di social settings, menurut Dr Brian A. Primack, Direktur Center for Research on Media, Technology and Health, isu ini penting dipelajari karena masalah kesehatan mental dan isolasi sosial sudah menjadi epidemi di kalangan orang dewasa muda. Betapa sekarang banyak orang yang panik ketika ponselnya ketinggalan.
Yang jadi pikiran bagi Dr Elizabeth Miller, profesor kedokteran anak di University of Pittsburgh dan Kepala Division of Adolescent and Young Adult Medicine di Children's Hospital of Pittsburgh, adalah belum diketahui mana yang duluan: apakah menggunakan media sosial lalu ada keterasingan atau karena ada isolasi sosial maka pakai media sosial untuk mengusir keterasingan.
Pertanyaan besar, namun kenyataan menunjukkan media sosial justru meningkatkan keterasingan sebagian orang yang diperbudak ponsel karena sepanjang hari mereka lebih mementingkan membalas pesan atau ciutan. Mereka melupakan orang-orang di sebelahnya. Padahal, manusia adalah makhluk sosial, namun seperti dikatakan Primack, penulis utama penelitian itu, kehidupan modern cenderung mengotak-ngotakkan bukan menciptakan kebersamaan. Memang, ada kesan media sosial memberikan peluang untuk mengisi kekosongan sosial, tapi fakta menunjukkan yang terjadi justru sebaliknya.
Salah satu catatan penting dari studi atau penelitian tsb. adalah anjuran bagi dokter agar bertanya kepada pasien seberapa jauh dia memakai media sosial ketika pasien mengeluh soal keterasingan sosial dari lingkungannya.
Jika keterasingan secara sosial terus berlanjut bisa jadi orang tsb. akan tercerabut secara sosial dari lingkungannya di social settings. Ini tentu bisa sebagai keluhan psikologis (perilaku dan fungsi mental) yang kelak bisa jadi bermuara pada keluhan psikiatri (kesehatan jiwa). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H