Ketika Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) dengan progtam ‘wajib kondom 100 persen’, Indonesia pun ‘mencangkok’ program tsb. tanpa melihat program penanggulangan Thailand secara komprehensif. Kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai September 2016 dilaporkan 302.004.
Hasil ‘cangkokan’ program tsb. lahirkan peraturan daerah (Perda) yaitu memasukkan kondom sebagai alat mencegah penularan HIV pada praktek pelacuran dan transaki seks. Maka, terbitlah Perda AIDS pertama di Kabupaten Nabire, Papua (2003). Sampai Desember 2016 sudah ada 96 perda pada provinsi, kabupaten dan kota serta 10 peraturan gubernur, bupati dan walikota.
Karena produk ‘cangkokkan’ tentu saja hasilny a pun tidak seperti program yang dicangkok. Pada puluhan perda tsb. pencegahan HIV/AIDS bertumpu pada moral dan agama.
Perda-perda itu dirancang bersama oleh pemerintah, LSM dan komunitas, tapi haslinya nol besar. Maka, berita di Harian KOMPAS (25/2-2017) “HIV DAN AIDS, Libatkan Komunitas Merumuskan Kebijakan” jadi tidak objektif.
Kebijakan apa yang sudah dihasilkan instansi, institusi, komunitas dan LSM dalam hal penanggulangan HIV/AIDS yang realistis?
Tidak ada. Yang nyata hanya sebatas perda-perda AIDS itu. Celakanya, perda-perda dan peraturan itu hanya sebatas jargon-jargon moral. Lihat saja Perda AIDS Provinsi Riau yang menyebutkan cara pencegahan HIV/AIDS dengan meningkatkan ‘iman dan taqwa’. Ini ‘kan konyol.
Pertama, apa alat ukur dan takar ‘iman dan taqwa’ yang konkret?
Kedua, siapa yang diberikan wewenang untuk mengukut ‘iman dan taqwa’ seseorang?
Ketiga, apa dan bagaima na ukuran ‘iman dan taqwa’ yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS?
Perda-perda lain sami mawon. Ada yang menyebutkan mencegah HIV/AIDS jangan melakukan hubungan seksual dengan yang bukan pasangan yang sah. Ada lagi menyebutkan jangan melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
Itulah hasil kerja keroyokan instansi, institusi, LSM, komunitas, dll.