Pengaitan agama denga bangsa, suku, dan etnis menjadi persoalan besar karena tidak mencermikan realitas masyarakat. Misalnya, ada kesan luas bahwa orang Batak identik dengan agama Kristen. Tentu saja ini tidak objektif karena tidak ada kaitan langsung antara bangsa, suku dan etnis dan agama karena di bangsa, suku dan etnis manpun tidak ada yang satu agama secara murni seratus persen.
Itulah sebabnya ada marga-marga di Tapanuli bagian selatan yang justru tidak mau disebut sebagai orang Batak karen mereka memeluk agama Islam. Maka, dikenallah suku Angkola dan Mandailing. Angkola pun berkembang jadi Angkola, Angkola Julu, Angkola Jae, Padang Lawas dan Sibuhuan. Mandailing dikenal pula da Mandailing Julu, Mandailing Godang, Mandailing Jae dan yang tidak terkait langsung yaitu Batang Natal dan Natal. Tapi, warga di Angkola dan Mandailing tidak semuanya beragama Islam.
Dunia Islam merasa terpanggil karena perlakuan terhadap etnis Bosnia, yang mayoritas beragama Islam di Republik Bosnia dan Herzegovina serta Rohingya di Myanmar (d/h. Birma) yang juga mayoritas beragama Islam, disebutkan terjadi karena agama. Bosnia dan Rohingya dikaitkan langsung dengan Islam. Lebih jauh ada pula isu genosida dalam kasus Bosnia dan Rohingya.
Di Bosnia dan Herzegovina ada tiga kelompok etnis yaitu Bosnia, Serbia dan Kroasia, sedangkan di Myanmar Rohingya bermukim bersama komunitas terbesar yaitu Rakhine yang mayoritas pemeluk agama Buddha. Maka, perlu dikaji apa di balik perlakuan terhadap muslim Bosnia dan khususnya Rohingya.
Pemerintah Myanmar yang sekarang ada di tangan Aung San Suu Kyiyang merupakan tokoh demokrasi dikabarkan ‘membiarkan’ kekerasan terhadap Rohingya. Tentu saja timbul pertanyaan: Mengapa hal itu (bisa) terjadi?
Ada kemungkinan Myanmar merasa tidak memerangi Islam tapi Rohingya. Analisis Siegfried Wolf, Kepala Bidang Penelitian di South Asia Democratic Forum (SADF) di Brussel, dan peneliti di Universitas Heidelberg, Insitut South Asia, bisa jadi pintu yang objektif ke arah duduk soal Rohingya [Rohingya, Sebenarnya Bukan Konflik Agama (dw.com, 31/8-2015)]. Â
Komunitas warga Rakhine yang hidup berdampingan dengan Rohingya merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma. Rakhine adalah pribumi di tanah mereka, sedangkan Rohingya pendatang dari Bengal ketika itu bagian dari India, yang kini jadi Bangladesh, di masa Inggris menguasai Myanmar, ketika itu Birma. Ada riwayat yang menyebutka Inggris mempersenjatai Rohingya melawan komunitas setempat, dan di akhir PD II Rohingya juga membantu sekutu menghadapi Jepang. Diperkirakan komunitas Rohingya sekitar 1,1 jua jiwa.
Celakanya, dalam situasi berdampingan itu Rakhine menganggap Rohingya sebagai saingan tambahan dan ancaman terhadap keberadaan mereka sebagai bagian dari warga Myanmar. Menruut Wolf, inilah peyebab utama ketegangan antara Rakhine dan Rohingya di negara bagian itu sehingga berujung pada sejumlah konflik senjata antar kedua kelompok.
Dalam suasana yang tidak harmonis itu seara politis komunitas Rakhine kemudian merasa dikhianati oleh komunitas Rohingya karena Rohingya tidak memberikan suara kepada Rakhine. Di mata Wolf situasi ini menjadi pemicu sehingga pertikaian pun meruncing yang akhirnya meningkatkan ketegangan. Celakanya, pemerintah Myanmar tidak mendorong rekonsiliasi antara Rakhine dan Rohingya malah sebaliknya mendukung fundamentalis Buddha. Ini dilakukan pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan di daerah yang kaya sumber alam tsb.
Biar pun Myanmar mendukung fundamentalis Rakhine yang mayoritas pemeluk Buddha pemerintah tetap menganggap itu bukan kekerasan terhadap Islam yang jadi agama mayoritas Rohingya.
Lebih jauh Wolf mengatakan bahwa konflik horizontal antar agama di Myanmar, khususnya di Rakhine, dikondisikan bahwa Islam adala ancaman terbesar bagi Buddha. Kondisinya kian pelik karena Myanmar ‘dikelilingi’ oleh negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam, seperti Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Di-setting pula bahwa Rohingnya  sebagai ancaman terhadap gaya hidup dan kepercayaan Buddha dan bisa jadi jalan menuju islamisasi Myanmar.
Dalam analisis yang lebih dalam, Wolf mengatakan Rakhine adalah salah satu negara bagian yang warganya paling miskin di Myanmar walaupun kaya sumber daya alam. Jadi, warga Rohingya dianggap beban ekonomi tambahan, ketika mereka bersaing untuk mendapat pekerjaan dan kesempatan bisnis. Pekerjaan dan bisnis di negara bagian itu sebagian besar dikuasai kelompok elit Burma. Jadi bisa dibilang, rasa tidak suka warga Buddha terhadap Rohingya bukan saja masalah agama, melainkan didorong masalah politis dan ekonomis.
Ketika komunitas Rohingya merasa tidak dilindungi Myanmar tawaran untuk mencari kehidupan baru di luar negeri pun mereka terima. Celakanya, banyak yang menawarkan jasa dengan syarat menyerahkan sejumlah uang hanya calo dan penipu. Warga Rohingya yang sudah menyerahkan uang dijanjikan ke Australia, tapi didaratkan di Indonesia. Bersamaan dengan itu Australia pun memperketat persyaratan imigran yang mereka terima, al. harus melalaui negara ketiga, seperti Indonesia.
Di beberapa daerah yang menampung pengungsi terjadi ksenjangan sosial antara pengungsi yang menerima ransum dalam dolar AS, sementara rakyat di daerah itu hidup di bawah garis kemiskinan bahkan ada yang jadi pengemis di tempat penampungan pengungsi. Disebutkan seorang pengungsi Rohingya dewasa menerima Rp 1,25 juta/bulan, sedangkan anak-anak Rp 500.000/orang/bulan (m.tempo.co, 27/5-2015). Ini benar-benar ironis, tapi dunia seakan-akan membiarkannya. Bisa jadi suatu saat terjadi konflik horizontal antara pengungsi dan penduduk lokal karena kesenjangan kehidupan yang sangat nyata.
Ketika ada bantuan asing atas nama agama kepada komunitas Rohingya membuat Rakhine merasa terasing di tanahnya sendiri karena tidak menerima bantuan asing dan dari negaranya. Maka, bisa saja tekanan terhadap Rohingya sehingga memaksa mereka mengungsi merupakan konsekuensi logis dari kondisi di Rakhine.
Dalam kaitan ini UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees atau Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi) hanya mengandalkan karena bisa memberikan biaya hidup dengan standar Eropa Barat kepada pengungsi. Tapi, UNHCR tidak pernah melancarkan kritik terhadap negara-negara yang membiarkan rakyatnya menyabung nyawa menyeberang lautan untuk mencari kehidupan baru. Ini bak bisnis, agaknya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H