Dalam analisis yang lebih dalam, Wolf mengatakan Rakhine adalah salah satu negara bagian yang warganya paling miskin di Myanmar walaupun kaya sumber daya alam. Jadi, warga Rohingya dianggap beban ekonomi tambahan, ketika mereka bersaing untuk mendapat pekerjaan dan kesempatan bisnis. Pekerjaan dan bisnis di negara bagian itu sebagian besar dikuasai kelompok elit Burma. Jadi bisa dibilang, rasa tidak suka warga Buddha terhadap Rohingya bukan saja masalah agama, melainkan didorong masalah politis dan ekonomis.
Ketika komunitas Rohingya merasa tidak dilindungi Myanmar tawaran untuk mencari kehidupan baru di luar negeri pun mereka terima. Celakanya, banyak yang menawarkan jasa dengan syarat menyerahkan sejumlah uang hanya calo dan penipu. Warga Rohingya yang sudah menyerahkan uang dijanjikan ke Australia, tapi didaratkan di Indonesia. Bersamaan dengan itu Australia pun memperketat persyaratan imigran yang mereka terima, al. harus melalaui negara ketiga, seperti Indonesia.
Di beberapa daerah yang menampung pengungsi terjadi ksenjangan sosial antara pengungsi yang menerima ransum dalam dolar AS, sementara rakyat di daerah itu hidup di bawah garis kemiskinan bahkan ada yang jadi pengemis di tempat penampungan pengungsi. Disebutkan seorang pengungsi Rohingya dewasa menerima Rp 1,25 juta/bulan, sedangkan anak-anak Rp 500.000/orang/bulan (m.tempo.co, 27/5-2015). Ini benar-benar ironis, tapi dunia seakan-akan membiarkannya. Bisa jadi suatu saat terjadi konflik horizontal antara pengungsi dan penduduk lokal karena kesenjangan kehidupan yang sangat nyata.
Ketika ada bantuan asing atas nama agama kepada komunitas Rohingya membuat Rakhine merasa terasing di tanahnya sendiri karena tidak menerima bantuan asing dan dari negaranya. Maka, bisa saja tekanan terhadap Rohingya sehingga memaksa mereka mengungsi merupakan konsekuensi logis dari kondisi di Rakhine.
Dalam kaitan ini UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees atau Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi) hanya mengandalkan karena bisa memberikan biaya hidup dengan standar Eropa Barat kepada pengungsi. Tapi, UNHCR tidak pernah melancarkan kritik terhadap negara-negara yang membiarkan rakyatnya menyabung nyawa menyeberang lautan untuk mencari kehidupan baru. Ini bak bisnis, agaknya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H