Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Negara Demokrasi Tetap Ada Pembatasan Terkait Politik Dinasti

4 Januari 2017   11:16 Diperbarui: 4 Januari 2017   19:07 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Philippine Headline News Online)

Ketika Jimmy Carter dilantik jari Presiden AS ke-39 (1977-1981), salah satu adiknya marah-marah karena bisnis keluarga, kacang tanah, terhalang yaitu tidak boleh lagi jalin kerja dengan instansi pemerintah. Adiknya itu bahkan mengatakan tidak ada untungnya bagi dia ketika kakaknya jadi presiden, yang terjadi malah sebaliknya.

Begitu juga ketika Bill Clinton dilantik jadi Presiden AS ke-42  (1993-2001) istrinya, Hillary Clinton terpaksa mundur teratur sebagai pengacara. Padahal, ketika itu Hillary masuk daftar 100 pengacara ternama di AS.

Bandingkan dengan pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto yang menangkat putrinya, Mbak Tutut, jadi Menteri Sosial. Di era reformasi pejabat publik mempunyai istri, anak dan kerabat di DPR dan DPRD.

Pejabat Karbitan

Nah, itu di negara yang amat sangat demokratis tetap ada pembatasan terkait dengan ikatan keluarga dengan pejabat negara atau pejabat publik yang disebut ‘politik dinasti’ (KBBI: dinasti adalah berasal dari satu keluarga).

Nah, di Indonesia Mahkamah Konstitusi (MK) malah menghapus pembatasan tsb. melalui putusan tahun 2015 yaitu membatalkan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana (incumbent). Majelis hakim konstitusi menilai pasal itu bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 UUD 1945 (Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.)

Maka, mulai dari istri, anak, ipar, menantu, dan kerabat pejabat publik, termasuk petahana, pun ramai-ramai mengikuti pemilikan kepala daerah (Pilkada). Selain itu di antara mereka ada pula yang menjabat sebagai anggota DPR atau DPRD. Ada pula pejabat publik yang tidak bisa lagi ikut Pilkada karena sudah dua periode kemudian memajuk istrinya jadi calon pejabat publik.

Seperti keputusan MK kita juga tidak perlu alergi dengan ‘politik dinasti’, tapi alasan AS membatasi keluarga terlibat dalam kegaitan yang bersinggungan dengan pemerintah perlu juga diperhatikan. Soalnya, pengaruh petahana dan pejabat publik langsung dan tidak langsung sangat besar terhadap ‘politik dinasti’. Selain itu biar pun keluarga dan kerabat pejabat publik melakukan kegiatan, seperti bisnis, dengan benar tetap saja akan menimbulkan persoalan karena ada anggapan mendapat fasilitas, dll.

Itu artinya (calon) pejabat publik yang berasal dari ‘dinasti’ tidak sepenuhnya besar karena kemampuan, tapi ada faktor lain yaitu dorongan dan dukungan petahana secara langsung dan tidak langsung. Ya, discbutlah sebagai ‘pejabat publik karbitan’.

Berapa pengamat mengatakan bahwa daerah (provinsi, kabupaten dan kota) yang dipimpin oleh pejabat dari trah dinasti justru jauh tertinggal dalam kesejahteraan rakyat jika dibandingkan dengan daerah yang dipimpin oleh pejabat publik yang lahir dari rakyat. Contoh kasus yang disampaikan pengamat adalah Provinsi Banten dibandingkan dengan Kota Bandung, Kab Purwakarta, dll (detiknews, 3/1-2016).

Calon pejabat publik dari trah dinasti pun ketika kampanye lebih mengutamakan keberhasilan orang tua, suami, kerabata, dll. yang akan mereka gantikan Inilah yang dirsaukan oleh Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Dia khawatir Pilkada serentak 2017 tidak akan menghasilkan kepala daerah yang berkualitas jika masyarakat abai terhadap kapabilitas calon (kompas.com, 3/1-2017).

Dengarkan Hati

Contoh yang sangat pas adalah Pilkda DKI Jakarta. Calon gubernur dari petahana yang sudah teruji dan terbukti justru ‘digoyang’ dengan isu yang sama sekali tidak terkait dengan kapabilias dan kepasitas ybs. sebagai gubernur. Isu yang dimainkan pun efektif karena terkait dengan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang akan menusuk terutama ke kalangan puritan di starata menengah ke bawah. Ada juga yang mengatakan kalangan yang korup sekarang ini menentang (calon) pemimpin yang melawan korupsi dengan langkah-langkah yang konkret yang sudah terbukti.

Indikator lain terkait dengan kapabilitas dan kualitas calon pejabat publik, mulai dari gubernur, bupati sampai walikota adalah jumlah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan RI, dan Polri. Catatan KPK menunjukkan yang ditangani KPK saja sampai Agustus 2016 ada 18 gubernur dan 343 bupati dan wali kota yang terjerat kasus korupsi (kompas.com, 3/8-2016).

Ada juga yang menyebut besaran ‘mahar’ atau ‘ongkos perahu’ yang diminta partai politik (parpol) pengusung juga mendorong pejabat publik korupi. Tapi, ini tidak sepenuhnya benar karena gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya serta walikota dan wakilnya setiap tahun menerima uang operasinal berdasarkan jumlah pendapatan asli daerah (PAD) dan berbagai tunjangan di APBD (Lihat: Syaiful W. Harahap - Korupsi Pejabat Publik Bukan Karena Biaya Pilkada Langsung yang “Selangit”).

Pilkada serentak tahun 2017 tinggal menghitung hari menjelang 15 Februari sebagai hari “H”, sehingga masyarakat diharapkan bisa memilih pemimpin yang benar-benar mempunyai kapabilitas dan kualitas yang jauh dari trah koruptor. Memang, ‘serangan fajar’ juga akan menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan di bilik suara.

Maka, marilah kita mendengarkan (suara) hati karena kita pun ikut bertanggung jawab secara moral jika pejabat yang kita pilih kelak merampok dan membegal uang rakyat melalui praktek korupsi dan suap. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun