Ketika Jimmy Carter dilantik jari Presiden AS ke-39 (1977-1981), salah satu adiknya marah-marah karena bisnis keluarga, kacang tanah, terhalang yaitu tidak boleh lagi jalin kerja dengan instansi pemerintah. Adiknya itu bahkan mengatakan tidak ada untungnya bagi dia ketika kakaknya jadi presiden, yang terjadi malah sebaliknya.
Begitu juga ketika Bill Clinton dilantik jadi Presiden AS ke-42 Â (1993-2001) istrinya, Hillary Clinton terpaksa mundur teratur sebagai pengacara. Padahal, ketika itu Hillary masuk daftar 100 pengacara ternama di AS.
Bandingkan dengan pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto yang menangkat putrinya, Mbak Tutut, jadi Menteri Sosial. Di era reformasi pejabat publik mempunyai istri, anak dan kerabat di DPR dan DPRD.
Pejabat Karbitan
Nah, itu di negara yang amat sangat demokratis tetap ada pembatasan terkait dengan ikatan keluarga dengan pejabat negara atau pejabat publik yang disebut ‘politik dinasti’ (KBBI: dinasti adalah berasal dari satu keluarga).
Nah, di Indonesia Mahkamah Konstitusi (MK) malah menghapus pembatasan tsb. melalui putusan tahun 2015 yaitu membatalkan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana (incumbent). Majelis hakim konstitusi menilai pasal itu bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 UUD 1945 (Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.)
Maka, mulai dari istri, anak, ipar, menantu, dan kerabat pejabat publik, termasuk petahana, pun ramai-ramai mengikuti pemilikan kepala daerah (Pilkada). Selain itu di antara mereka ada pula yang menjabat sebagai anggota DPR atau DPRD. Ada pula pejabat publik yang tidak bisa lagi ikut Pilkada karena sudah dua periode kemudian memajuk istrinya jadi calon pejabat publik.
Seperti keputusan MK kita juga tidak perlu alergi dengan ‘politik dinasti’, tapi alasan AS membatasi keluarga terlibat dalam kegaitan yang bersinggungan dengan pemerintah perlu juga diperhatikan. Soalnya, pengaruh petahana dan pejabat publik langsung dan tidak langsung sangat besar terhadap ‘politik dinasti’. Selain itu biar pun keluarga dan kerabat pejabat publik melakukan kegiatan, seperti bisnis, dengan benar tetap saja akan menimbulkan persoalan karena ada anggapan mendapat fasilitas, dll.
Itu artinya (calon) pejabat publik yang berasal dari ‘dinasti’ tidak sepenuhnya besar karena kemampuan, tapi ada faktor lain yaitu dorongan dan dukungan petahana secara langsung dan tidak langsung. Ya, discbutlah sebagai ‘pejabat publik karbitan’.
Berapa pengamat mengatakan bahwa daerah (provinsi, kabupaten dan kota) yang dipimpin oleh pejabat dari trah dinasti justru jauh tertinggal dalam kesejahteraan rakyat jika dibandingkan dengan daerah yang dipimpin oleh pejabat publik yang lahir dari rakyat. Contoh kasus yang disampaikan pengamat adalah Provinsi Banten dibandingkan dengan Kota Bandung, Kab Purwakarta, dll (detiknews, 3/1-2016).
Calon pejabat publik dari trah dinasti pun ketika kampanye lebih mengutamakan keberhasilan orang tua, suami, kerabata, dll. yang akan mereka gantikan Inilah yang dirsaukan oleh Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang. Dia khawatir Pilkada serentak 2017 tidak akan menghasilkan kepala daerah yang berkualitas jika masyarakat abai terhadap kapabilitas calon (kompas.com, 3/1-2017).