Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengapa Banyak Orang Ringan Tangan Menyebarkan Hoax?

1 Januari 2017   09:30 Diperbarui: 1 Januari 2017   13:06 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: International Business Times)

Kehadiran media sosial (social media), seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram, dll. membawa perubahan besar dalam berkomunikasi melalui Internet. Yang semula hanya melalui e-mail dan grup, tapi sekarang setiap orang bisa menyebarkan informasi ke seluruh dunia melalui jagat maya. Kemajuan teknologi informasi ini semerta mengubah perilaku banyak orang dalam bekomunikasi.

Kalau selama ini informasi hanya bisa disiarkan oleh institusi resmi berdasar persyaratan yang diatur oleh UU, seperti media massa (media cetak dan media elektronik) dan media online atau portal berita, tapi sejak ada media sosial banyak orang yang merasa berhak menyebarkan ‘berita’.

Check and Re-check

Menyebarkan informasi melalui sosial media ini merupakan salah satu bentuk euforia ‘pers bebas’ yang dikenal sebagai free press atau pers bebas. Ini berbeda dengan kebebasan pers (freedom of the press) yang tetap berpegang teguh di koridor hukum, seperti UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Persoalannya kemudian adalah banyak orang yang menempatkan dirinya sebagai ‘sender’ sehingga merasa berhak menyebarkan informasi. Celakanya, banyak di antara informasi itu yang tidak benar yang belakangan dikenal sebagai ‘hoax’. Dalam kamus Merrian-Webster disebutkan: hoax adalah tipu daya agar orang percaya dan menerima sesuatu, dalam hal ini informasi, yang sebenarnya tidak benar sering tidak masuk akal.

Paling tidak analogi dari pernyataan Bang Hotman (Prof Dr Hotman M Siahaan, sosiolog di Univ Airlangga Surabaya) ini. Orang-orang dan organisasi yang memakai atribut militer atau polisi bisa bertindak semaunya karena tidak ada aturan sesuai dengan atribut yang melekat pada diri mereka. Sentimen korps sangat kuat pada kalangan atau kelompok yang memakai artibut tertentu.

Nah, orang-orang atau organisasi yang menempatkan diri sebagai ‘wartawan’ akan menjadikan setiap kabar, isu, gosip dan informasti sebagai ‘berita’. Celakanya, karena mereka tidak terikat dengan UU Pers dan kode etik jurnalistik maka yang mereka sebut ‘berita’ itu justru bukan berita yang diatur dalam kaidah jurnalistik.

Bagi seorang wartawan isu, gosip, kabar angin dan informasi harus diuji dulu, yaitu apakah isu, gosip, kabar angin dan informasi bermanfaat untuk orang banyak (significance) dan melakukan check and re-check serta covering both side.

Wartawan terikat dengan norma, moral, etik dan hukum. Maka, tidaklah berlebihan kalau disebutkan bahwa sebelah kaki wartawan ada di penjara karena ada beberapa hal yang membuat wartawan wajib menanggung risiko.

Misalnya, menyembunyikan identitas narasumber. Ketika sebuah berita sampai ke meja hijau dan hakim memerintahkan untuk membuka identitas narasumber,  kalau wartawan tidak mau membuka identitas narasumber maka wartawanlah yang masuk bui jika ada vonis pidana.

Itulah sebabnya dikenal ada ‘sensor’ di media massa yaitu berdasarkan UU Pers dan Kode Etik, dan yang lebih penting lagi adalah self sensoring yaitu memakai hati nurani untuk menimbang baik buruk sebuah berita terhadap kehidupan masyarakat dan pemerintah jika diterbitkan.

Intoleransi dan Radikalisme

Nah, kita tarik keterangan Bang Hotman ke realitas sosial terkait dengan berita hoax: mereka memakai ‘atribut’ wartawan dengan bekerja seperti di bidang jurnalistik. Ada isu, gosip, kabar angin, dan informasi yang mereka terima dan dengar, maka mereka pun meramu isu, gosip, kabar angin, dan informasi dengan menempatkan diri sebagai seorang wartawan.

Tapi, karena mereka tidak terikat secara organisasi dan emosional dengan jurnalistik, maka kaidah-kaidah jurnalistik pun tidak mereka ikuti. Maka, terbitlah berita berdasarkan isu, gosip, kabar angin, informasi yang tidak diuji melalui cara check and re-check.

Celakanya, ada pula yang justru sengaja membuat ‘berita’ hoax dengan mengutak-atik berita dari media massa dan media online dengan dorongan kebencian, dengki, dll. Hoax pun kemudian diramaikan dengan ujaran kebencian (hate speech) dengan memakai isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Ujaran kebencian yang dibalut dengan SARA pun mendorong intolenransi dan radikalisme 

(Lihat: Syaiful W. Harahap - Jangan Pakai Media Sosial untuk Merecoki Kerukunan Hidup Umat Beragama).

Yang jelas hate speech bukan kebebasan berbicara karena kebebasan berbicara tetap harus di koridor hukum. Kebebasan untuk berbicara di depan umum juga diatur oleh UU, begitu juga melalui media massa dan media sosial tetap harus berjalan di koridor hukum. Maka, amatlah tepat langkah pemerintah yang akan menindak tegas pelaku hate speech dan penyebar informasi hoax melalui media online dan media sosial.

(Lihat: Syaiful W. Harahap - Florence dan Kebebasan Berekspresi di Media Sosial dan Blog)

Celakanya, dalam situasi media sosial dipenuhi hoax justru ada kalangan yang mengatakan pembatasan menyampaikan pendapat dengan sanksi pidana, al. dalam UU ITE, dalam hal ini melalui media sosial, akan menghambat kebebasan berekspresi. Catatan penulis sudah ada 20-an kasus status di media sosial yang berakhir di meja hijau dengan vonis penjara.

Pertanyaan untuk kalangan ini adalah: Apakah menyebarkan kabar dan berita bohong, memfitnah, mencaci-maki, mengejek, menghina, dll. merupakan kebebasan berekspresi? Tentu saja tidak. Itu artinya kalangan tadi tidak mampu menyuarakan pendapat secara jernih dan etis 

(Lihat: Syaiful W. Harahap - Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki?).

Persoalan lain adalah ketidakcermatan banyak orang dalam membedakan kritik dengan fitnah, cari-maki, ejekan, penghinaan, dll. Kritik lebih didasarkan pada penilaian yang bertumpu pada kebenaran dan keadilan yang didukung dengan fakta dan data. Kritik tanpa fakta dan data adalah fitnah. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun