Intoleransi dan Radikalisme
Nah, kita tarik keterangan Bang Hotman ke realitas sosial terkait dengan berita hoax: mereka memakai ‘atribut’ wartawan dengan bekerja seperti di bidang jurnalistik. Ada isu, gosip, kabar angin, dan informasi yang mereka terima dan dengar, maka mereka pun meramu isu, gosip, kabar angin, dan informasi dengan menempatkan diri sebagai seorang wartawan.
Tapi, karena mereka tidak terikat secara organisasi dan emosional dengan jurnalistik, maka kaidah-kaidah jurnalistik pun tidak mereka ikuti. Maka, terbitlah berita berdasarkan isu, gosip, kabar angin, informasi yang tidak diuji melalui cara check and re-check.
Celakanya, ada pula yang justru sengaja membuat ‘berita’ hoax dengan mengutak-atik berita dari media massa dan media online dengan dorongan kebencian, dengki, dll. Hoax pun kemudian diramaikan dengan ujaran kebencian (hate speech) dengan memakai isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Ujaran kebencian yang dibalut dengan SARA pun mendorong intolenransi dan radikalismeÂ
(Lihat: Syaiful W. Harahap - Jangan Pakai Media Sosial untuk Merecoki Kerukunan Hidup Umat Beragama).
Yang jelas hate speech bukan kebebasan berbicara karena kebebasan berbicara tetap harus di koridor hukum. Kebebasan untuk berbicara di depan umum juga diatur oleh UU, begitu juga melalui media massa dan media sosial tetap harus berjalan di koridor hukum. Maka, amatlah tepat langkah pemerintah yang akan menindak tegas pelaku hate speech dan penyebar informasi hoax melalui media online dan media sosial.
(Lihat: Syaiful W. Harahap - Florence dan Kebebasan Berekspresi di Media Sosial dan Blog)
Celakanya, dalam situasi media sosial dipenuhi hoax justru ada kalangan yang mengatakan pembatasan menyampaikan pendapat dengan sanksi pidana, al. dalam UU ITE, dalam hal ini melalui media sosial, akan menghambat kebebasan berekspresi. Catatan penulis sudah ada 20-an kasus status di media sosial yang berakhir di meja hijau dengan vonis penjara.
Pertanyaan untuk kalangan ini adalah: Apakah menyebarkan kabar dan berita bohong, memfitnah, mencaci-maki, mengejek, menghina, dll. merupakan kebebasan berekspresi? Tentu saja tidak. Itu artinya kalangan tadi tidak mampu menyuarakan pendapat secara jernih dan etisÂ
(Lihat: Syaiful W. Harahap - Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki?).
Persoalan lain adalah ketidakcermatan banyak orang dalam membedakan kritik dengan fitnah, cari-maki, ejekan, penghinaan, dll. Kritik lebih didasarkan pada penilaian yang bertumpu pada kebenaran dan keadilan yang didukung dengan fakta dan data. Kritik tanpa fakta dan data adalah fitnah. ***