Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Jumlah Kasus HIV/AIDS di Indonesia Semakin Memprihatinkan

1 Desember 2016   06:12 Diperbarui: 1 Desember 2016   08:30 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hari AIDS Sedunia (Sumber: TeamUnite)

* Program Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia (Hanya) di Hilir ....

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, menyebutkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia priode tahun 1987 – 30 Juni 2015 sebanyak 291.465 yang terdiri atas 208.909 HIV dan 82.556 AIDS dengan 14.234 kematian. Sedangkan estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 600.000, yang terdeteksi baru separuh. Dari jumlah yang terdeteksi itu pun baru 70.000-an yang meminum obat antiretrorival (ARV).

Sumber: Ditjen P2P
Sumber: Ditjen P2P
Itu artinya ratusan ribu orang yang mengidap HIV/AIDS tidak terdeteksi sehingga mereka tidak meminum obat ARV. Akibatnya, mereka jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Obat ARV akan menekan laju pertambahan virus di dalam tubuh pengidap HIV/AIDS sehingga potensi untuk menularkan bisa ditekan sampai nol yang ditandai dengan virus yang tidak terdeteksi pada darah Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang meminum obat ARV sesuai anjuran dokter.

Populasi Kunci

Yang perlu diingat adalah kasus yang terdeteksi tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya ada di masyarakat. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Fenomena gunung es adalah kasus yang terdeteksi digambarakan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Sumber: Kemenkes RI
Sumber: Kemenkes RI
Jumlah orang, terutama laki-laki dewasa, yang berisiko tertular HIV sangat besar. Estimasi populasi kunci yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI tahun 2012 (dikutip dari makalah Prof dr Budi Utomo, MPH, PhD, pada Temu Ilmiah Hari AIDS Sedunia di Jakarta, 28/11-2016) menunjukkan pelanggan pekerja seks komersial (PSK) langsung mencapai 5.229.686. 

Sebagian besar dari laki-laki pelanggan PSK ini adalah suami. Maka, tidaklah mengherankan kalau sejak dekade 2010 banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka ini adalah kelompok risiko rendah karena hanya melakukan hubungan seksual dengan suami. Sampai 1 Desember 2015 dilaporkan 9.096 ibu rumah tangga sebagai Odha (Orang dengan HIV/AIDS) [BBC Indonesia, 1/12-2016].

Dalam Gambar I jelas terlihat bahwa pemerintah tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi perilaku berisiko laki-laki dewasa karena transaksi seks terjadi dengan waria, PSK langsung, PSK tidak langsung, dan perempuan gratifikasi seks yang tidak dilokalisir. Dari estimasi Kemenkes itu ada 6.747.503 laki-laki yang menjadi pelanggan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Sumber: AIDS Watch
Sumber: AIDS Watch
Karena praktik jual-beli seks ini tidak dilokalisir, maka tidak ada intervensi terhadap laki-laki agar mereka memakai kondom. Akibatnya, jutaan laki-laki tsb., sebagaian beristeri, berisiko tinggi tertular HIV. Pada gilirannya mereka akan menularkan HIV istri, pacar, pasangan seks, dll.

Ketika kondisi di atas terjadi, maka intervensi hanya bisa dilakukan terhadap ibu rumah tangga yang hamil sebagai langkah penanggulangan di hilir. Disebut di hilir karena ibu-ibu rumah tangga itu sudah tertular HIV baru ditangani.

Salah satu langkah untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa adalah melakukan intervensi berupa keharusan laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung. Intervensi ini hanya bisa dilakukan secara efektif jika praktek pelacuran dilokalisir (Gambar II). Dalam kondisi ini pun intervensi juga dilakukan terhadap ibu-ibu rumah tangga yang sedang hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Sumber: AIDS Watch
Sumber: AIDS Watch
Dalam epidemi HIV/AIDS yang jadi masalah besar adalah kasus yang tidak terdeteksi. Artinya, warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Yang perlu dilakukan adalah program yang bisa menemukan warga yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, Tapi, perlu diingat jangan sampai melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Bayi Bebas AIDS

Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah kota dan pemerintah kabupaten di Indonesia adalah membuat peraturan derah (Perda) yang mewajibkan ibu rumah tangga yang sedang hamil dan suaminya menjalani konseling HIV/AIDS di sarana kesehatan pemerintah atau swasta yang ditunjuk pemerintah. Jika dari hasil konseling tsb. ada indikasi perilaku seksual suami berisiko tertular HIV, maka suami wajib menjalani tes HIV. Kalau hasil tes menunjukkan suami positif tertular HIV istrinya pun menjalani tes HIV.

Langkah tsb. ibarat sekali dayung dua pulau terlampaui. Pertama, bisa terdeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS, yaitu suami, sehingga bisa diputus mata rantai penyebaran HIV/AIDS melalui si suami ke perempuan atau pasangan seks yang lain. Kedua, kalau si istri juga tertular HIV bisa dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Ketiga, program pencegahan akan melahirkan anak-anak yang bebas HIV/AIDS.

Program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya akan efektif jika dilakukan pada saat hamil muda. Pencegahan dilakukan dengan pemberian obat ARV kepada ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS agar tidak terjadi penularan vertikal ke bayi yang dikandungnya. Sejauh ini baru Thailand yang menyatakan bahwa bayi-bayi yang lahir di  Negeri “Gajah Putih” itu bebas HIV/AIDS. Ini berkat program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret dan konsisten di Thailand.

Banyak daerah di Indonesia yang berlomba-lomba membuat Perda Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, tapi tidak ada satu pun pasal yang menukik ke akar persoalan sehingga perda-perda itu tidak efektif menanggulangi HIV/AIDS. Sampai sekarang sudah ada 105 peraturan terkait AIDS mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yaitu: Perda 21 provinsi, 53 kabupaten dan 22 kota, serta 4 Pergub, 5 Perbup dan 1 Perwali.

Perda-perdan itu ‘mandul’ karena tidak memberikan penanggulangan yang konkret. Misalnya, dalam banyak perda tsb. disebutkan pencegahan HIV/AIDS adalah dengan meningkatkan iman dan taqwa, jangan melakukan hubungan seksual dengan yang bukan istri yang sah, dll. Ini semua mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS sebagai fakta medis. Ini sama sekali tidak memberikan cara-cara pencegahan yang realistis.

Program yang banyak dijalankan adalah tes HIV dengan berbagai macam bentuk. Program ini ada di hilir. Artinya, dibiarkan dulu warga tertular HIV baru dites. Yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Celakanya, praktik PSK di Indonesia tidak dilokalisir sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan program yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Risiko insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di satu daerah, seperti kabupaten dan kota, dapat diketahui melalui perilaku seksual sebagian laki-laki dewasa, apakah mereka: (a) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di daerahnya atau di luar daerah, dan (b) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) di daerahnya artau di luar daerah.

Dalam kaitan itulah perlu sosialisasi yang gencar agar laki-laki yang pernah atau sering melakukan perilaku (a) dan (b) menjalani tes HIV. Bisa juga dengan melatih tenaga penjangkau untuk mendekati orang-orang yang sering melakukan perilaku (a) dan (b) agar mereka mau melakukan tes HIV. Soal keengganan orang datang ke tempat tes HIV, bukan karena malu, tapi banyak orang yang tidak menyadari perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS.

Penanggulangan Pasif

Soalnya, sejak awal epidemi penularan HIV selalu dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, selingkuh, seks bebas, seks menyimpang, dll. Padahal, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL (zina, pelacuran, selingkun, seks bebas, seks menyimpang, dll.), tapi karena KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak pakai kondom setiap kali sanggama). [Risiko Penularan HIV/AIDS Bukan karena Sifat Hubungan Seksual].

Sumber: AIDS Watch
Sumber: AIDS Watch
Banyak hubungan seksual yang berisiko tertular HIV terjadi dengan PSK tidak langsung sehingga dianggap tidak berisiko karena mereka bukan PSK dan sanggama tidak dilakukan di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Banyak laki-laki merasa ‘aman-aman saja’ karena mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom di hotel berbintang, dilakukan dengan cewek yang bukan PSK.

Tapi, laki-laki itu salah besar karena biar pun bukan PSK langsung, cewek-cewek itu juga melakukan praktek pelacuran seperti PSK langsung. Itu artinya cewek-cewek yang jadi PSK tidak langsung juga berisiko tinggi tertular HIV karena mereka melayani laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja ada di antara laki-laki tsb. yang mengidap HIV/AIDS sehingga cewek PSK tidak langsung pun berisiko tertular HIV/AIDS.

Jika hanya menunggu kasus HIV/AIDS melalui warga yang datang berobat karena sakit dengan ciri-ciri penyakit terkait AIDS, itu artinya penanggulangan pasif. Warga dibiarkan tertular HIV dahulu baru ditangani. Celakanya, Kalau ini yang dilakukan sebelum orang-orang yang sakit tadi berobat dan menjalani tes HIV mereka sudah menularkan HIV ke orang lain sehingga kasus HIV/AIDS kian banyak di masyarakat.

Yang jadi persoalan adalah praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, cewek kafe, cewek biliar, anak sekolah, mahasiswi, dll. karena tidak bisa diintervensi. Praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga program penanggulangan tidak bisa dilancarkan secara efektif.

Jika ada panti pijat plus-plus dan praktek pelacuran terselubung, itu artinya ada risiko insiden penularan HIV pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di sana. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka menularkan HIV/AIDS ke orang lain, terutama ke istrinya.

Sebaliknya, biar pun tidak ada panti pijat plus-plus dan praktek pelacuran terselubung bisa saja ada laki-laki dewasa yang melakukan perilaku seks berisiko di luar daerahnya. Jika ada di antara mereka yang tertular, maka mereka pun akan menyebarkan HIV/AIDS di daerahnya, terutama ke istrinya.

Karena transaksi seks pada Gambar II tidak mungkin dilakukan di Indonesia, maka yang perlu dilakukan adalah mekanisme yang realistis untuk mendeteksi warga yang sudah tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, al. melalui Perda yang mewajibkan pasangan suami-istri konseling HIV ketika si istri sedang hamil.

Selama penanggulangan HIV/AIDS hanya di hilir, maka Hari AIDS Sedunia tahun depan jumlah kasus HIV/AIDS bisa mencapai setengah juta atau lebih, bahkan bisa terjadi ‘ledakan AIDS’. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun