Bayi Bebas AIDS
Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah kota dan pemerintah kabupaten di Indonesia adalah membuat peraturan derah (Perda) yang mewajibkan ibu rumah tangga yang sedang hamil dan suaminya menjalani konseling HIV/AIDS di sarana kesehatan pemerintah atau swasta yang ditunjuk pemerintah. Jika dari hasil konseling tsb. ada indikasi perilaku seksual suami berisiko tertular HIV, maka suami wajib menjalani tes HIV. Kalau hasil tes menunjukkan suami positif tertular HIV istrinya pun menjalani tes HIV.
Langkah tsb. ibarat sekali dayung dua pulau terlampaui. Pertama, bisa terdeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS, yaitu suami, sehingga bisa diputus mata rantai penyebaran HIV/AIDS melalui si suami ke perempuan atau pasangan seks yang lain. Kedua, kalau si istri juga tertular HIV bisa dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Ketiga, program pencegahan akan melahirkan anak-anak yang bebas HIV/AIDS.
Program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya akan efektif jika dilakukan pada saat hamil muda. Pencegahan dilakukan dengan pemberian obat ARV kepada ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS agar tidak terjadi penularan vertikal ke bayi yang dikandungnya. Sejauh ini baru Thailand yang menyatakan bahwa bayi-bayi yang lahir di Negeri “Gajah Putih” itu bebas HIV/AIDS. Ini berkat program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret dan konsisten di Thailand.
Banyak daerah di Indonesia yang berlomba-lomba membuat Perda Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, tapi tidak ada satu pun pasal yang menukik ke akar persoalan sehingga perda-perda itu tidak efektif menanggulangi HIV/AIDS. Sampai sekarang sudah ada 105 peraturan terkait AIDS mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yaitu: Perda 21 provinsi, 53 kabupaten dan 22 kota, serta 4 Pergub, 5 Perbup dan 1 Perwali.
Perda-perdan itu ‘mandul’ karena tidak memberikan penanggulangan yang konkret. Misalnya, dalam banyak perda tsb. disebutkan pencegahan HIV/AIDS adalah dengan meningkatkan iman dan taqwa, jangan melakukan hubungan seksual dengan yang bukan istri yang sah, dll. Ini semua mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS sebagai fakta medis. Ini sama sekali tidak memberikan cara-cara pencegahan yang realistis.
Program yang banyak dijalankan adalah tes HIV dengan berbagai macam bentuk. Program ini ada di hilir. Artinya, dibiarkan dulu warga tertular HIV baru dites. Yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Celakanya, praktik PSK di Indonesia tidak dilokalisir sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan program yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Risiko insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di satu daerah, seperti kabupaten dan kota, dapat diketahui melalui perilaku seksual sebagian laki-laki dewasa, apakah mereka: (a) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di daerahnya atau di luar daerah, dan (b) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) di daerahnya artau di luar daerah.
Dalam kaitan itulah perlu sosialisasi yang gencar agar laki-laki yang pernah atau sering melakukan perilaku (a) dan (b) menjalani tes HIV. Bisa juga dengan melatih tenaga penjangkau untuk mendekati orang-orang yang sering melakukan perilaku (a) dan (b) agar mereka mau melakukan tes HIV. Soal keengganan orang datang ke tempat tes HIV, bukan karena malu, tapi banyak orang yang tidak menyadari perilaku seksualnya berisiko tertular HIV/AIDS.
Penanggulangan Pasif