Soalnya, sejak awal epidemi penularan HIV selalu dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, selingkuh, seks bebas, seks menyimpang, dll. Padahal, risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL (zina, pelacuran, selingkun, seks bebas, seks menyimpang, dll.), tapi karena KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak pakai kondom setiap kali sanggama). [Risiko Penularan HIV/AIDS Bukan karena Sifat Hubungan Seksual].
Tapi, laki-laki itu salah besar karena biar pun bukan PSK langsung, cewek-cewek itu juga melakukan praktek pelacuran seperti PSK langsung. Itu artinya cewek-cewek yang jadi PSK tidak langsung juga berisiko tinggi tertular HIV karena mereka melayani laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja ada di antara laki-laki tsb. yang mengidap HIV/AIDS sehingga cewek PSK tidak langsung pun berisiko tertular HIV/AIDS.
Jika hanya menunggu kasus HIV/AIDS melalui warga yang datang berobat karena sakit dengan ciri-ciri penyakit terkait AIDS, itu artinya penanggulangan pasif. Warga dibiarkan tertular HIV dahulu baru ditangani. Celakanya, Kalau ini yang dilakukan sebelum orang-orang yang sakit tadi berobat dan menjalani tes HIV mereka sudah menularkan HIV ke orang lain sehingga kasus HIV/AIDS kian banyak di masyarakat.
Yang jadi persoalan adalah praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, cewek kafe, cewek biliar, anak sekolah, mahasiswi, dll. karena tidak bisa diintervensi. Praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga program penanggulangan tidak bisa dilancarkan secara efektif.
Jika ada panti pijat plus-plus dan praktek pelacuran terselubung, itu artinya ada risiko insiden penularan HIV pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di sana. Laki-laki yang tertular HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka menularkan HIV/AIDS ke orang lain, terutama ke istrinya.
Sebaliknya, biar pun tidak ada panti pijat plus-plus dan praktek pelacuran terselubung bisa saja ada laki-laki dewasa yang melakukan perilaku seks berisiko di luar daerahnya. Jika ada di antara mereka yang tertular, maka mereka pun akan menyebarkan HIV/AIDS di daerahnya, terutama ke istrinya.
Karena transaksi seks pada Gambar II tidak mungkin dilakukan di Indonesia, maka yang perlu dilakukan adalah mekanisme yang realistis untuk mendeteksi warga yang sudah tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, al. melalui Perda yang mewajibkan pasangan suami-istri konseling HIV ketika si istri sedang hamil.
Selama penanggulangan HIV/AIDS hanya di hilir, maka Hari AIDS Sedunia tahun depan jumlah kasus HIV/AIDS bisa mencapai setengah juta atau lebih, bahkan bisa terjadi ‘ledakan AIDS’. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H