Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Bercinta” Antar Mahasiswa dan Mahasiswi Tidak Harus di Asrama

2 November 2016   20:11 Diperbarui: 2 November 2016   20:23 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: www.unh.edu)

"Tidak perlu lagi ada kekhawatiran mengenai kemungkinan kontak antara perempuan dan laki-laki, dan perempuan dengan perempuan."  Ini disampiakan oleh  Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa kepada wartawan baru-baru ini terkait dengan ide Bu Menteri berupa asrama tak berpintu (Mahasiswi, Aktivis Kecam Usul Mensos Soal Asrama Tak Berpintu, Reuters/VOA Indonesia, 2/11-2016)

Menurut Bu Mensos dengan asrama yang tak berpintu menghapus kekhawatiran mengenai kemungkinan kontak antara perempuan dan laki-laki, dan perempuan dengan perempuan.

Saran atau anjuran Bu Mensos itu tidak masuk akal karena:

Pertama, hubungan seksual antara mahasiswa dengan mahasiswi yang tinggal di asrama tidak harus dilakukan di asrama.

Kedua, hubungan seksual antara mahasiswa dan pacarnya yang tidak tinggal di asrama juga tidak hanya dilakukan di asrama.

Ketiga, hubungan seksual antara mahasiswi dan pacarnya yang tidak tinggal di asrama juga tidak hanya dilakukan di asrama.

Selain itu Bu Mensos juga diskriminatif dengan hanya menyebut ‘perempuan dengan perempuan’ yang dikenal sebagai bentuk homoseksual, dalam hal ini lesbian.

Apakah tidak ada gay di kalangan mahasiswa?

Hubungan seksual antara yang pacaran, suami-istri, bahkan dalam transaksi seks seperti dengan pekerja seks komersial (PKS) adalah kontak badan dengan tingkat privasi yang sangat tinggi. Di lokalisasi pelacuran laki-laki yang mengintip akan habis dihajar jika tertangkap.

Cara berpikir Mensos Khofifah ini sama dengan yang dilakukan di beberapa daerah yang tidak memberikan izin kepada penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang untuk menyediakan kamar yang saling berhubungan dengan pintu (connecting door).

Mengapa tidak boleh ada kamar terhubung dengan connecting door? “Ya, kita menjaga hal-hal yang tidak diinginkan,” kata seorang manajer hotel bintang empat di sebuah kota di Pulau Sulawesi. Maksud mereka adalah agar tidak terjadi perzinaan.

Apakah dengan tidak ada kamar yang dihubungkan dengan pintu di sebuah hotel, maka otomatis tidak akan pernah ada praktek perzinaan di hotel tsb?

Tentu saja tetap ada karena pintu depan semua kamar hotel terbuka bagi ‘tamu’. Laki-laki mengidap di kamar di lantai dasar, perempuan menginap di lantai 27 tentu saja laki-laki bisa naik atau perempuan yang turun. Tanpa connecting door pun dari kamar yang bersebelahan bisa saling ‘bertamu’.

Soal melakukan hubungan seksual tidak mutlak terkait langsung dengan lokasi atau tempat. Seorang dosen PTN di Jakarta mengisahkan asrama mahasiswa di Amerika Serikat yang bisa ditempati oleh laki-laki dan perempuan. Tapi, “Jangan coba-coba mengintip atau melirik, risikonya dipecat,” kata dosen tadi.

Disebutkan: Khofifah mengatakan ia terinspirasi oleh kunjungannya ke asrama-asrama tak berpintu di sebuah universitas "yang sangat prestisius", di mana aktivitas-aktivitas mahasiswa di kamar-kamar mereka dapat dipantau secara efektif.

Nah, itu ‘kan ketika sedang belajar atau diskusi. Apakah Bu Mensos mengamati kegiatan mahasiswa dan mahasiswi di kampus yang kamar asramanya tidak berpintu itu selama 24 jam dan 7 hari?

Apakah Bu Mensos yakin kalau di tempat yang tidak berpintu itu tidak ada tempat untuk melakukan ‘quick sex’, ciuman, pelukan, blow job, dll.?

Lagi pula mahasiswa dan mahasiswi  tidak selamanya di rumah yang tidak berpintu itu. Merka di sana hanya pada waktu-waktu tertentu. Atau memang kehidupan keseharian mahasiswa dan mahasiswi itu benar-benar selama 24 jam dengan 7 hari seminggu hanya di liungkup ruang yang tidak bepintu itu?

Bu Mensos mau membuat asrama mahasiswa dan mahasiswi sebagai ‘kandang transparan’ agar dapat dipantau agar tidak melakukan perzinaan.

Agaknya, Bu Mensos tidak mengikuti berita terkait dengan sinyalemen Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) yang menemukan indikasi suap miliaran rupiah dalam pemilihan rektor di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN). Nah, apaka perilaku akademisi ini bermoral?

Bu Mensos memaksa mahasiswa dan mahasiswi memegang moral di asrama dengan cara beraktivitas di ruang yang tidak berpintu, tapi ‘membiarkan’ moral runtuh dalam pemilihan rektor.

Sebelum saran yang naif ini Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M. Nasir, juga ‘menyerang’ mahasiswa LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dengan senjata moralitas. Belakangan, Pak Menteri ini mengatakan yang dilarang di kampung adalah LGBT tidak boleh bermesraan di kampus. Nah, ini lampu hijau bagi hetetoseksual karena tidak dilarang bermesraan di kampus (Ternyata LGBT Dilarang ke Kampus Kalau “Bercinta dan Pamer Kemesraan” ....).

Menteri sibuk mengurus LBGT, eh, pemilihan rektor bergelimang dengan uang suap dan peringkat PTN Indonesia di kancah dunia di atas 800 jauh di bawah perguruan tinggi Malaysia. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun