Apakah dengan tidak ada kamar yang dihubungkan dengan pintu di sebuah hotel, maka otomatis tidak akan pernah ada praktek perzinaan di hotel tsb?
Tentu saja tetap ada karena pintu depan semua kamar hotel terbuka bagi ‘tamu’. Laki-laki mengidap di kamar di lantai dasar, perempuan menginap di lantai 27 tentu saja laki-laki bisa naik atau perempuan yang turun. Tanpa connecting door pun dari kamar yang bersebelahan bisa saling ‘bertamu’.
Soal melakukan hubungan seksual tidak mutlak terkait langsung dengan lokasi atau tempat. Seorang dosen PTN di Jakarta mengisahkan asrama mahasiswa di Amerika Serikat yang bisa ditempati oleh laki-laki dan perempuan. Tapi, “Jangan coba-coba mengintip atau melirik, risikonya dipecat,” kata dosen tadi.
Disebutkan: Khofifah mengatakan ia terinspirasi oleh kunjungannya ke asrama-asrama tak berpintu di sebuah universitas "yang sangat prestisius", di mana aktivitas-aktivitas mahasiswa di kamar-kamar mereka dapat dipantau secara efektif.
Nah, itu ‘kan ketika sedang belajar atau diskusi. Apakah Bu Mensos mengamati kegiatan mahasiswa dan mahasiswi di kampus yang kamar asramanya tidak berpintu itu selama 24 jam dan 7 hari?
Apakah Bu Mensos yakin kalau di tempat yang tidak berpintu itu tidak ada tempat untuk melakukan ‘quick sex’, ciuman, pelukan, blow job, dll.?
Lagi pula mahasiswa dan mahasiswi tidak selamanya di rumah yang tidak berpintu itu. Merka di sana hanya pada waktu-waktu tertentu. Atau memang kehidupan keseharian mahasiswa dan mahasiswi itu benar-benar selama 24 jam dengan 7 hari seminggu hanya di liungkup ruang yang tidak bepintu itu?
Bu Mensos mau membuat asrama mahasiswa dan mahasiswi sebagai ‘kandang transparan’ agar dapat dipantau agar tidak melakukan perzinaan.
Agaknya, Bu Mensos tidak mengikuti berita terkait dengan sinyalemen Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) yang menemukan indikasi suap miliaran rupiah dalam pemilihan rektor di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN). Nah, apaka perilaku akademisi ini bermoral?
Bu Mensos memaksa mahasiswa dan mahasiswi memegang moral di asrama dengan cara beraktivitas di ruang yang tidak berpintu, tapi ‘membiarkan’ moral runtuh dalam pemilihan rektor.
Sebelum saran yang naif ini Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M. Nasir, juga ‘menyerang’ mahasiswa LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dengan senjata moralitas. Belakangan, Pak Menteri ini mengatakan yang dilarang di kampung adalah LGBT tidak boleh bermesraan di kampus. Nah, ini lampu hijau bagi hetetoseksual karena tidak dilarang bermesraan di kampus (Ternyata LGBT Dilarang ke Kampus Kalau “Bercinta dan Pamer Kemesraan” ....).