Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengapa Menyimpan Uang Harus ke Luar Negeri?

17 Oktober 2016   13:32 Diperbarui: 17 Oktober 2016   13:36 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan cerita baru kalau banyak warga negara Indonesia yang menyimpan uang di bank di luar negeri, seperti Singapura, Virgin Island, Cayman Island, Hong Kong dan Australia. Suku bunga tidak jauh berbeda dengan yang ditawarkan bank-bank pemerintah dan swasta nasional di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung harta WNI yang mengendap  di Singapura mencapai Rp 730 triliun, yang sudah ‘kembali’ ke Indonesia berkat pengampunan pajak (tax amnesty) sebesar Rp 87,9 triliun (detiknews, 15/10-2016).

Lalu, apa alasan menyimpan uang di luar negeri?

Tentu saja 1001 macam alasan akan muncul. Tapi, dari aspek ril bisa saja ada ketakutan terkait dengan kebijakan moneter karena di Indonesia sudah terjadi tiga kali ‘pemotongan’ nilai mata uang dengan berbagai istilah, bentuk dan kepentingan.

Terkait dengan ‘pemotongan’ nilai mata uang itu dikenal ada senaring (memotong nilai mata uang) pada tahun 1950 dan 1959, serta redenominasi (menyederhanakan denominasi mata uang dengan mengungani digit angka 0 tanpa mengurangi nilai mata uang) yang diberlakukan pada tahun 1966 yaitu Rp 1.000 menjadi Rp 1 tapi gagal karena terjadi inflasi 650 persen.

Harga segelas kopi, misalnya, sebelum redenominasi pada tahun 1966 Rp 3.000. Nah, penjual kopi tidak mau menerima uang Rp 3 untuk segelas kopi yang akhirnya harga kopi ‘naik’ ke angka ribuan juga. Itu artinya ‘kan inflasi dan harga kopi itu jadi jutaan rupiah.

Sanering terjadi karena ketidakstabilan ekonomi yang juga dipengaruhi gemuruh politik yang diwarnai kepentingan banyak partai politik (parpol). Pertarungan politik berdampak pada situasi moneter. Itu di era parlementer yang jadi ajang ‘peperangan’ partai politik memperebutkan kekuasaan. Sedangkan di masa kabinet presidensial stabilitasi politik lebih terjamin, seperti yang dijalankan oleh rezim Orba dengan komando Presiden Soeharto pada kurun waktu 1966-1998.

Celakanya, di era reformasi UUD 1945 pun diamandemen sehingga kabinet Indonesia tidak lagi mutlak presidensial tapi sudah setengah-setengah karena hak-hak proregatif (istimewa) presiden sudah ‘diamputasi’ sehingga harus ada persetujuan DPR. Anggaran pun DPR terlibat sehingga menjerat beberapa anggota dewan ke ranah pebuatan yang melawan hukum, seperti suap dan korupsi.

Dengan jumlah parpol yang banyak amatlah sulit bagi partai yang berkuasa untuk merangkul parpol lain agar kuat di parlemen. Apalagi terjadi tarik-menarik dengan pijakan agama, gonjang-ganjing politik pun berdampak terhadap stabilitas politik dan moneter. Di awal-awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla, misalnya, kurs rupiah terhadap dolar terus terjadi yang nyaris menenmbus Rp 15.000 per 1 dolar AS. Berkat stabilitas politik dan paket-paket kebijakan ekonomi kurs 1 dolar AS pun ada di kisaran Rp 13.000.

Kondisi politik yang gonjang-ganjing itulah yang mengkhawatirkan orang-orang kaya terkait dengan hartanya karena ada bayang-bayang sanering dan redenominasi yang telah memorak-morandakan perekonomian nasional dan ‘merampas’ (nilai) harta kekayaan.

Penarikan tabungan dan deposito dari bank-bank pemerintah dan swasta nasional pada tahun 1986 besar-besaran (rush) dikabarkan terjadi karena ada isu tabungan dan deposito akan dijadikan obligasi (semacam surat utang pemerintah dengan bunga tertentu yang dapat diperjualbelikan). Tentu saja pemilik uang tidak mau repot-repot berutusan dengan pemerintah apalagi jangka waktunya ditentukan. Tentu akan banyak yang lebih memilih tabungan dan deposito yang jauh lebih praktis daripada obligasi.

Agaknya, kasus sanering dan redenominasi itulah yang ditakutkan oleh orang-orang kaya akan jadi ‘mimpi buruk’. Maka, stabilitas politik dan mengembalikan hak-hak proregatif presiden menjadi bagian yang penting dalam upaya meyakinkan orang-orang kaya bahwa sanering dan redenominasi tidak akan pernah (lagi) terjadi di Indonesia.

Kalau pun pakar-pakar mengatakan redenominasi berbeda dengan sanering, tapi apakah ada jaminan ketika nominal Rp 1.000 jadi Rp 1 bisa membeli barang yang sebelumnya berharga Rp 1.000 dengan pecahan uang nominal Rp 1? Tentu banyak yang akan mengenang peristiwa tahun 1966 yang memangkas nilai harta dari jutaan rupiah jadi ribuan rupiah dengan nilai yang sangat rendah.

Yang jadi pertanyaan lagi adalah kurs terhadap mata uang asing, seperti dolar AS. Dengan kurs Rp 13.000, misalnya, apakah setelah redenominasi nanti kurs 1 dolar AS otomatis jadi Rp 13?

Tanpa ada langkah konkret yang bisa jadi jaminan bahwa sanering dan sejenisnya tidak akan pernah lagi terjadi, maka selama itu pula sebagian orang kaya akan tetap memilih langkah yang aman, seperti (tetap) menyimpan harta dan uang di negara-negara dengan stabilitas politik dan ekonomi yang tinggi. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun