Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sidang Gugatan “Seks Sejenis” di MK: Melaknat Gay Meloloskan Lesbian

5 Oktober 2016   10:50 Diperbarui: 5 Oktober 2016   11:30 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Repro: perspektifofficial.com)

* Sodomi dalam bentuk seks oral dan seks anal juga terjadi pada pasangan suami-istri, bahkan ada dengan pemaksaan ....

"Ketentuan tersebut memberi peluang dan legalisasi adanya hubungan sejanis. Maka perlu diperluas dan tidak tertutup hanya pada orang yang belum dewasa. Dan pandangan MUI, perbuatan hubungan sejenis adalah perbuatan keji yang dilaknat oleh Allah SWT." Ini pernyataan anggota Komisi Fatwa MUI, Mursyidah Thahir, dalam sidang gugatan guru besar IPB Bogor, Prof Dr Euis Sunarti, dan 11 temannya terhadap Pasal 292 KUHP (detiknews, 4/10-2016).

Ketentuan yang dimaksud Mursyidah adalah Pasal 292 KUHP: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Tidak Hanya Gay

Tidak ada tersirat dalam pasal tsb. yang membenarkan hubungan sejenis, dalam hal ini seks anal antara laki-laki dengan laki-laki. Pasal ini lebih tertuju pada kasus pedofilia yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan hasrat seksual kepada anak-anak umur 7-12 tahun. Dalam pasal ini dibatasi sejenis yaitu laki-laki dewasa dengan anak laki-laki. Bisa saja hubungan seksual antara laki-laki dewasa dengan anak perempuan umur 7-12 tahun dikategorikan sebagai perzinaan biasa jika tidak dilakukan dengan paksa.

Di banyak negara sanksi hukum pagi pedofilia sangat berat. Di Filipina, misalnya, hukuman bagi pedofilia adala suntik mati. Jika ditelaah pelaku seks anal terhadap anak-anak bisa dijerat dengan UU Perlindungan Anak dengan ancaman pidana 15 tahun penjara.

Celakanya, usulan Prof Dr Euis Sunarti, dkk., justru jadi hukuman ringan bagi pelaku pedofilia yaitu maksimal 5 tahun sehingga vonis bisa di bawah 5 tahun, yaitu dengan bunyi pasal yang mereka ajukan: Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.

Ada beberapa hal yang justru tidak jelas dalam pasal yang diajukan oleh Prof Dr Euis Sunarti, dkk., yaitu:

(1) Pemakaian kata ‘cabul’ tidak jelas maksudnya karena dalam KBBI cabul disebut sebagai: keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Itu artinya kata ‘cabul’ yang juga diadopsi oleh pemohon dkk sangat kabur karena tidak jelas apa dan bagimana perbuatan ‘cabul’ yang dimaksud.

(2) Jika ‘cabul’ yang dimaksud pada Pasal 292 KHUP itu adalah hubungan antar kelamin berupa seks penetrasi yaitu penis masuk ke anal, maka hubungan sejenis pada lesbian lolos dari jerat hukum melalui Pasal 292 karena tidak terjadi seks penetrasi.

Berita terkait sidang gugatan itu selalu menyebut-nyebut LGBT, tapi melupakan biseksual yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami yaitu melakukan hubungan seksual dengan perempuan (istri) dan laki-laki dalam bentuk LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki). Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS, maka LSL merupakan pemicu dan penyebar HIV/AIDS di masyarakat karena LSL jadi jembatan dari kalangan LSL ke masyarakat, dalam hal ini ke istri dan pasangan seks yang lain.

Rupanya penggugat dkk. hanya ingin ‘menembak’ kalangan LGBT, dalam hal ini lebih tertuju kepada homoseksual yaitu laki-laki gay karena mereka khawatir terjadi perkawinan sejenis.

Celakanya, hubungan seksual sejenis tidak hanya dilakukan oleh gay tapi juga oleh sebagian orang dari kalangan heteroseksual.

Dalam berita disebutkan: Dalam pandangan MUI, perzinaan harus dikembalikan pada makna dasar, yaitu senggama yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah atau pun belum. Begitu juga baik dilakukan di tempat umum/pelacuran atau ruang privat.

Tidak ada UU yang memberikan hak kepada penegak hukum untuk masuk ke ruang privat terkait dengan perzinaan. Langkah yang dilakukan oleh polisi dan Satpol PP merazia perzinaan merupakan perbuatan yang melawan hukum karena masuk ke ranah privat. Lagi pula yang sangat memalukan adalah polisi dan Satpol PP hanya punya nyali merazia kos-kosan murah, penginapan, losmen, dan hotel kelas melati.

Pertanyaan untuk polisi dan Satpol PP: Apakah di hotel berbintang dan apartemen mewah tidak ada pasangan yang tidak menikah melakukan hubungan seksual dalam bentuk perzinaan dan praktek pelacuran?

Seks Anal untuk Kontrasepsi

Jika berpatokan pada fakta yang dilakukan polisi dan Satpol PP selama ini menunjukkan bahwa memang perzinaan dan praktek pelacuran di Indonesia hanya terjadi di penginapan, losmen, dan hotel melati. Sebaliknya, fakta itu (razia polisi dan Satpol PP) pun membawa kita ke anggapan bahwa di kos-kosan mewah, hotel berbintang dan apartemen mewah adalah tempat ‘suci’ yang bebas dari perzinaan dan praktek pelacuran.

Polisi dan Satpol PP memakai peraturan daerah (Perda) sebagai landasan hukum razia. Ini langkah hukum yang melawan hukum karena UU tidak membenarkan razia ke ranah privat tanpa alasan hukum. Misalnya, jika polisi menerima laporan dari seorang suami atau istri bahwa istri atau suaminya diduga selingkuh di penginapan, losmen, atau hotel melati, maka yang dirazia hanya kamar yang diadukan bukan semua kamar di penginapan, losmen, dan hotel melati itu.

Pernyataan ahli kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof Muhammad Mustofa, yang mengatakan bahwa pendekatan pidana untuk menegakkan norma yang ada di masyarakat tidak tepat.

Prof Mustofa benar karena gugatan yang diajukan oleh Prof Dr Euis dkk., lebih tertuju pada perilaku pasangan gay yang dikhawatirkan akan membuka ruang perkawinan sejenis, bukan pada tindak pidana kriminal yaitu sodomi [sodomi adalah istilah hukum yang digunakan dalam untuk merujuk kepada tindakan seks "tidak alami", yang bergantung pada yuridiksinya dapat terdiri atas seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin, baik dilakukan secara heteroseksual, homoseksual, atau antara manusia dan hewan (id.wikipedia.org)].

Jika Prof Dr Euis dkk. lebih jeli, maka paling tidak ada 10 perilaku seksual yang patut dimasukkan ke UU pidana karena dampaknya terhadap kehidupan korban yang sangat berat (Uji Materi Seks Gay di MK: Seks Anal, Seks Oral dan Posisi "69" Juga Dilakukan Sebagian Pasangan Heteroseksual Bahkan Suami-Istri).

Sayang, Prof Dr Euis dkk. rupanya lebih tertarik pada frasa “Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama” daripada melihat kasus-kasus parafilia yang justru dampaknya terhadap kemanusiaan dan epidemi HIV/AIDS jauh lebih besar.

Lagi pula ‘perbuatan cabul dari jenis kelamin yang sama’ berupa seks anal di kalangan gay atau seks oral di kalangan lesbian hanya bisa dijerat hukum jika dilaporkan, jika dilakukan atas dasar suka sama suka tentulah tidak akan pernah bisa dijerat hukum.

Seks anal juga sudah menjadi bagian dari sebagian orang yang pacaran dan perselingkuhan sebagai bentuk ‘kontrasepsi’. Di Palembang, Sumsel, misalnya, seorang laki-laki, AH, 27 tahun, dilaporkan oleh pacarnya WU, 21 tahun, karena melakukan seks anal 10 kali terhadap dirinya (bangka.tribunnews.com, 31/12-2016). Dalam berita disebutkan ‘sodomi’, yang lebih tepat adalah seks anal karena dilakukan suka sama suka.

Celakanya, tidak sedikit remaja yang memilih seks oral dan seks anal serta posisi ‘69’ untuk menyalurkan dorongan seksual agar terhindar dari kehamilan. Maka, amatlah tepat yang disebutkan oleh Prof Muhammad Mustofa bahwa penghukuman pidana tidak tepat untuk menegakkan norma di masyarakat.

Maka, semua orang bertanggung jawab dalam menegakkan norma di masyarakat. Celakanya, banyak pemuka dan pejabat publik yang justru melakukan perbuatan yang melawan norma dengan kasat mata di masyarakat. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun