Sayang, Prof Dr Euis dkk. rupanya lebih tertarik pada frasa “Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama” daripada melihat kasus-kasus parafilia yang justru dampaknya terhadap kemanusiaan dan epidemi HIV/AIDS jauh lebih besar.
Lagi pula ‘perbuatan cabul dari jenis kelamin yang sama’ berupa seks anal di kalangan gay atau seks oral di kalangan lesbian hanya bisa dijerat hukum jika dilaporkan, jika dilakukan atas dasar suka sama suka tentulah tidak akan pernah bisa dijerat hukum.
Seks anal juga sudah menjadi bagian dari sebagian orang yang pacaran dan perselingkuhan sebagai bentuk ‘kontrasepsi’. Di Palembang, Sumsel, misalnya, seorang laki-laki, AH, 27 tahun, dilaporkan oleh pacarnya WU, 21 tahun, karena melakukan seks anal 10 kali terhadap dirinya (bangka.tribunnews.com, 31/12-2016). Dalam berita disebutkan ‘sodomi’, yang lebih tepat adalah seks anal karena dilakukan suka sama suka.
Celakanya, tidak sedikit remaja yang memilih seks oral dan seks anal serta posisi ‘69’ untuk menyalurkan dorongan seksual agar terhindar dari kehamilan. Maka, amatlah tepat yang disebutkan oleh Prof Muhammad Mustofa bahwa penghukuman pidana tidak tepat untuk menegakkan norma di masyarakat.
Maka, semua orang bertanggung jawab dalam menegakkan norma di masyarakat. Celakanya, banyak pemuka dan pejabat publik yang justru melakukan perbuatan yang melawan norma dengan kasat mata di masyarakat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H