Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korupsi Pejabat Publik Bukan Karena Biaya Pilkada Langsung yang “Selangit”

29 September 2016   22:16 Diperbarui: 29 September 2016   22:28 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* Ada biaya operasional dan insentif yang besar dari APBD ....

Data Litbang Kementerian Dalam Negeri atas pendanaan pilkada serentak 2015 menunjukkan, biaya yang dikeluarkan pasangan calon untuk pilkada tingkat kota/kabupaten bisa mencapai Rp 30 miliar. Sementara uang yang dikeluarkan pasangan calon untuk pemilihan gubernur berkisar Rp 20 miliar-Rp 100 miliar. Ini kutipan dari berita “Biaya Pilkada Picu Korupsi” di Harian “KOMPAS” (27/9-2016).

Bukan main! Uang dihambur-hamburkan hanya untuk meraih jabatan publik sebagai bupati, walikota atau gubernur. Rupanya, bagi sebagian orang jabatan ini bagaikan ‘puncak’ kehidupan sehingga dikejar bak ‘tuhan’ dengan segala macam risiko.

Seorang warga di salah satu kabupaten yang ‘gersang’ di Provinsi Sumatera Utara (Sumut), misalnya, terpaksa gigit jari karena batal maju pilkada. Soalnya, salah satu parpol yang meminta ‘mahar’ atau ‘ongkos perahu’ sebesar Rp 3 miliar. Itu baru satu partai. Kalau dia minta diusung dua atau tiga parpol tentu angkanya membengkak jadi Rp 15 miliar. Dengan hitung-hitungan kasar uang itu tidak akan bisa kembali kalau hanya mengandalkan korupsi dari pendapatan asli daerah (PAD) karena PAD daerah itu sangat kecil.

Hasil Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas pendanaan Pilkada 2015 menunjukkan, 51,4 persen responden kajian KPK yang merupakan bekas calon kepala daerah mengeluarkan dana kampanye melebihi harta kas (uang tunai, tabungan, dan deposito) mereka (KOMPAS, 27/9-2016). Ini merupakan salah satu faktor yang mendorong pejabat publik mencari uang dengan berbagai cara dengan memanfaatkan kedudukannya agar ‘balik modal’. Itu artinya pejabat publik mengikuti ‘titah’ Lord Acton: kekuasaan cenderung korupsi [Pilgub DKI 2017 Sebagai Indikator Dukungan (Parpol) terhadap Pejabat Publik yang Melawan ‘Titah’ Lord Acton].

Memang, seperti dilaporkan oleh “KOMPAS” kalau hanya mengandalkan gaji tentulah dana yang dikeluarkan untuk pilkada itu tidak akan tertutupi. Gaji pokok bupati/wali kota Rp 2,1 juta/bulan, sedangkan gubernur Rp 3 juta/bulan. Jika ditambah dengan tunjangan istri dan anak, gaji yang dibawa pulang setiap bulan Rp 5,6 juta - Rp 8,7 juta.

Tapi, ada dana operasional dan insentif dari APBD. Kalau PAD sebuah daerah besar, maka biaya yang dikeluarkan untuk pilkada itu akan bisa impas karena ada hak bupati, walikota dan gubernur serta wakilnya dari APBD yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2010 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah. Diatur di pasal 9 ayat 1 (Lihat Tabel).

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
DKI Jakarta, misalnya, dengan PAD asli sebesar Rp 44 triliun tahun 2015, maka dana operasional dan insentif gubernur dan wakil gubernur bisa mencapai Rp 66 miliar/tahun. Dengan berpatokan pada PP tsb. maka tidak ada lagi alasan bagi kepala daerah terpilih dengan PAD besar yang sudah mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk ‘merampok’ uang rakyat.

Tapi, fakta menunjukkan gubernur, bupati dan walikota yang terjerat korupsi dari daerah dengan PAD yang besar, seperti Sumatera Utara, Riau, Banten, dll. Tentu saja ini jadi pertanyaan yang sangat mendasar yang mungkin hanya bisa dibedah dari aspek kriminologi dan psikologi.

Laporan Harian “TERBIT” (5/8-2016), menyebutkan ada 361 kepala daerah terjerat kasus korupsi yang terdiri atas 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota. Dengan jumlah daerah 548 (provinsi, kabupaten dan kota), maka pejabat yang terjerat hukum karena korupsi mencapai 65,88 persen.

Sedangkan Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gajah Mada (UGM), Fariz Fachryan, mengatakan penyebab korupsi banyak, mulai dari politik uang, birokrasi yang tidak profesional dan tidak berintegritas serta lainnya (TERBIT, 5/8-2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun