Pesan dalam Roman
Memasyarakatkan tanggap bencana sangat penting bagi Indonesia karena Indonesia sudah dijuluki sdbagai ‘laboratorium bencana’. Ini terjadi karena Indonesia dilanda banyak jenis bencana dengan korban yang tidak sedikit. Secara faktual bencana-bencana yang terjadi di Indonesia, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, erupsi gunung berapi, angin ribut, puting beliung, badai, kekeringan, dan kebakaran hutan bisa diatasi sehingga tidak akan memakan korban yang besar. Sedangkan bencana alam pada gempa bumi dan tsunami yang bisa dilakukan adalah mengurangi risiko sehingga korban sedikit melalui manajemen kebencanaan, seperti menyiapkan sarana dan prasarana yang terkait dengan penanggulangan bencana.
Di Jepang, misalnya, selain struktur bangunan yang tahan gempa perabotan kantor pun, seperti meja kerja, dll., dirancang ‘tahan gempa’ yaitu sebagai tempat berlindung sementara pegawai atau karyawan ketika terjadi gempa. Mereka belindng di bawah meja sehingga tidak tertimpa bahan bangunan. Nah, apakah hal itu dilakukan di Indonesia?
Dengan memberikan pengetahuan tentang kebencanaan melalui siaran radio diharapkan akan meningkatkan apresiasi masyarakat dalam menanggapi risiko bencana. Masyarakat akan memahami cara-cara yang tepat untuk mencegah korban bencana, terutama jiwa. Seperti pada tsunami di Aceh (2004) ada seorang laki-laki yang naik ke atap rumah dan mengumandangkan azan. Ini merupakan kesalahan besar karena yang perlu dilakukan adalah menghindarkan diri dari jilatan air. Setelah dapat tempat yang aman baru melalukan ritual-ritual yang bisa menjadi bagian dari upaya penanggulangan.
Menyebarluaskan cara-cara yang realistis untuk menanggulangi bencana, mengatasi risiko dan mencegah korban merupakan langkah cerdas dalam proses sosialisasi kebencanaan di masyarakat luas. Hal ini baru terlihat dilakukan di Indonesia setelah tsumami Aceh (2004), gempa di Yogyakarta dan Sumatera Barat.
Agar upaya-upaya tsb. berkesinambungan, maka cara sosialisasi yang dilakukan BNPB yaitu menyelipkan pesan-pesan penanggulangan bencana dalam drama radio merupakan bentuk tanggung jawab BNPB dalam mendidik masyarakat agar melek bencana. Memang, era kejayaan sandiwara radio ‘sudah lewat’ karena kehadiran televisi dan Internet, tapi bagi sebagian masyarakat, terutama di pedesaan sandiwara radio merupakan hiburan yang terjangkau.
Bentuk “Kelompencapir”
“Asmara di Tengah Bencana” merupakan drama radio berlatar belakang pemerintahan Sultan Agung Hanyoto Kusumo ketika Gunung Merapi meletus. Kisah ini diramu dengan dendam, kesetiaan, kejujuran, dan percintaan antara anak manusia. Tema besar sandiwara radio ini adalah soal bencana alam. Dalam cerita asmara itu juga ada materi tentang upaya melakukan mitigasi bencana dan gambaran kehidupan yang harmonis dengan (sumber) bencana (alam).
Berkaca pada keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan kemampuan petani dan nelayan melalui Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa), maka adalah cara yang arif kalau BNPB juga memikirkan cara yang dilakukan di masa Orba itu karena terbukti berhasil menjangkau masyarakat luas. Kegiatannya al. adalah ‘cerdas-cermat’ tentang bidang yang mereka geluti.