Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jangan Pakai Media Sosial untuk Merecoki Kerukunan Hidup Umat Beragama

8 September 2016   10:31 Diperbarui: 8 September 2016   10:42 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau seseorang benar-benar mempunyai daya ekspresi yang baik tentulah tulisannya di media sosial tidak akan pernah tersangkut dengan hukum (Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki?).

Maka, karena ketidakmampuan mengolah kata menjadi informasi yang komprehensif paling tidak sudah 30-an nitizen yang berhadapan dengan hukum karena status mereka di media sosial yang melawan hukum yang mereka sebut sebagai kebabasan berekspresi.

Ketika pemberitaan di media massa dan media online yang kompeten menyajikan berita yang meredam gejolak, eh, media sosial malah menyebarkan informasi memperkeruh suasana yang justru mendorong eskalasi (peningkatan) konflik. Mabes Polri pun menerbitkan  Surat Edaran (SE) No: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) tanggal 8 Oktober 2015 yang diteken oleh Kapolri Jenderal (Pol) Drs Badrodin Haiti.

Lagi-lagi gelombang protes. Padahal, yang dilarang adalah ujaran kebencian, fitnah, adu domba, plintiran, dan caci-maki yang sudah terbukti menimbulkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat yang berujung pada peningkatan konflik. Itu artinya yang diatur bukan meredam kebebasan berekspresi, tapi batasan ‘berekspresi’ yang bermuatan ujaran kebencian.

Agama menjadi isu yang sangat sensitif. Celakanya, agama pula yang sering dijadikan bahan untuk melancarkan ujaran kebencian  di dalam satu agama dan antar agama. Yang menjadi persoalan bukan agama-agama tsb., tapi pemeluk agama-agama itu yang menjadikan ujaran kebencian sebagai isi pesan mereka.

Kondisinya kian runyam karena tingkat toleransi yang sangat rendah di sebagian orang sehingga mereka tidak memikirkan akibat ujaran kebencian yang mereka sebarluaskan. Dalam kaitan beribadah tentulah toleransi berperan. Ketika toleransi diutak-atik akan bersentuhan dengan SARA, terutama agama, yang menimbulkan, mendorong dan meningkatkan konflik yang bisa berujung pada kerusuhan (massal).

Maka, adalah cara-cara yang arif jika nitizen tidak menjadikan isu toleransi dan agama sebagai isi pesan di media sosial, tapi sebaliknya menyebarluaskan pesan yang justru meningkatkan toleransi beragama. Kedamaian dalam kehidupan yang beragam dari berbagai aspek, seperti sosial, ekonomi, pendidikan, pekerja, SARA, dll. merupakan bagian dari kerukunan hidup berdampingan dalam kesejukan nurani. ***

Twitter: @infokespro- Faceboik: https://www.facebook.com/syaifulwharahap

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun