Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jangan Pakai Media Sosial untuk Merecoki Kerukunan Hidup Umat Beragama

8 September 2016   10:31 Diperbarui: 8 September 2016   10:42 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu aspek yang menjadi perhatian media massa dan media online yang kompeten adalah check and re-check dan covering both side yaitu meminta keterangan, tanggapan atau data dari pihak-pihak yang terkait dengan berita. Hal inilah yang tidak dilakukan oleh orang-orang yang mengunggah atau mem-posting sesuatu ke media sosial. Bahkan, sering terjadi berita dari media massa dan media sosial yang kompeten diplintir sehingga maknanya jadi lain.

Contoh yang paling ekstrim adalah ceramah Prof Dr Quraish Shihab di salah satu stasiun televisi yang diplintir di media sosial sehingga mendorong banyak nitizen (pengguna media sosial) yang menghujat Prof Shibab. Ini terjadi karena banyak nitizen yang tidak memahami media, dalam hal ini media sosial, sebagai sebuah saluran untuk menyebarkan pendapat secara global. Mereka tidak memikirkan dampat dari posting-an mereka. Ada yang merasa puas jika sudah bisa mem-posting sesuatu yang dianggapnya benar padahal hal itu plintiran atau informasi Hoax.

Di awal-awal reformasi korban plintiran adalah alm. Gus Dur ketika beliau menjabat sebagai presiden. Waktu itu wartawan meminta tanggapan terkait dengan upaya hukum terhadap seseorang. Gus Dur mengatatakan: Tangkap si “X” jika polisi sudah mempunyai bukti. Tapi, media massa cetak memelintirnya dengan menjadikan headline: Gus Dur: Tangkap si “X”.  Sebagai seorang tokoh Gus Dur tidak menuntut media cetak tsb. dan mengatakan hal itu sebagai pembelajaran buat media. Celakanya, penulis mewawancarai Gus Dur tahun 1980-an tentang kebebasan pers dan beliau korban pertama dari ‘pers bebas’ yang berkemang sejak reformasi.

Kalau media cetak yang memelintir pernyataan Gus Dur itu memakai kaidah “freedom of the press” (kebebasan pers), maka tidak akan muncul judul yang menyudutkan Gus Dur, Maka, media cetak itu menjalankan “free press” yaitu seks, eh, pers bebas. Ada kekhawatiran intervensi media sosial yang memuat konten kebencian bisa mendorong ‘zero tolerance’. Jika ini terjadi, maka kehidupan tanpa kerukunan ibarat hidup di ‘neraka’.

Celakanya, UU Pers di Indonesia sangat liberal bahkan lebih liberal dari negara yang kita tuding sebagai negara liberal. Dalam UU Pers yang liberal itu sama sekali tidak ada sanksi hukum terhadap media dan wartawan jika terjadi kesalahan. Hak Jawab yaitu hak masyarakat untuk memprotes pemberitaan pun tidak ada sanksi hukum bagia media massa dan media online jika surat, keluhan atau tanggapan pembaca tidak dimuat.

Bisa jadi hal itu pulalah yang menjadi ‘pintu masuk’ bagi sebagian nitizen untuk menyebarluaskan konten-konten yang meresahkan karena media massa pun tidak dihukum jika menimbulkan kegaduhan.

Agaknya, cara-cara yang dilakukan oleh sebagai nitizen ‘berkiblat’ ke pers bebas dengan anggapan semua boleh ditulis dan disebarkan karena merupakan hak. Tapi, mereka lupa kalau ada aturan main yang memaksa media massa, media online dan nitizen berjalan di koridor hukum tentang isi sebuah berita atau pesan.

Yang perlu diingat adalah kebebasan berekspresi bukan tanpa batas karena terkait langsung dengan orang banyak dan terjadi di ranah publik. Jika sudah menyangkut publik tentulah tidak bisa lagi mengabaikan aspek hukum (Kebebasan Berekspresi di Media Sosial dan Blog Tidak Lolos dari Jerat Hukum).

Ujaran Kebencian

Maka, ketika pemerintah membuat rambu-rambu terhadap media sosial melalui UU ITE, gelombang protes pun menggelora. Salah satu alasan pemrotes adalah: UU ITE memberangus kebebasan berekspresi.

Pertanyaannya adalah: Apakah memelintir fakta dan menulis informasi Hoax merupakan ekspresi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun