Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Kota dengan Pejalan Kaki Miliki Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Pendidikan yang Tinggi

5 September 2016   17:10 Diperbarui: 5 September 2016   20:45 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Jalan kaki di Kota New York, AS (Sumber: onmogul.com)

Hasil penelitian terbaru memperlihatkan bahwa kota yang warganya banyak berjalan kaki, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendidikan yang tinggi. Pernyataan ini ada di lead berita “Apakah Pejalan Kaki Lebih Cerdas dari Orang yang Memilih Naik Kendaraan?” (BBC Indonesia, 5/9-2016). Ini hasil penelitian yang dilakukan oleh badan advokasi masalah tata kota, “Smart Growth America” di 30 kota besar di Amerika Serikat dengan menelaah tingkat kondusivitas kantor, tempat berbelanja, dan perumahan untuk pejalan kaki.

Hasil penelitian itu memang mengejutkan, yaitu pusat keramaian di 30 kota diteliti yang gampang diakses dengan jalan kaki, memiliki market share yang lebih tinggi dibandingkan yang harus ditempuh dengan kendaraan bermotor. Tentu saja ini masuk akal. Pusat hiburan di Jakarta, misalnya, seperti Taman Impian Jaya Aco. di Jakarta Utara, Taman Mini Indonesia Indan (TMII) di Jakarta Timur atau Kebun Binatang Ragunan di Jakarta Selatan sangat sulit diakses.

Perjalanan dari tempat lain di Jakarta ke tiga objek itu memakan waktu yang panjang, bahkan bisa tidak sempai ke tujuan karena kendaraan tidak bergerak. Jika berjalan kaki sarana angkutan terdekat pun tidak ada ke objek-objek tadi juga tidak ada sehingga hanya kendaraan bermotor satu-satunya pilihan.

Kalau saja PT KA, dalam hal ini Commuter Line Jakarta, menghidupkan kembali jalur Sta. Kota-Tanjungpriok atau Sta. Senen-Tanjungpriok warga yang akan ke TIJA bisa turun di Sta. Ancol sehingga warga bisa jalan kaki ke Ancol.

Ke beberapa pusat perbelanjaan (mal) dan pusat-pusat hiburan dan kesenian juga sami mawon. Tidak ada opsi transportasi yang efisien. Jika hendak ke Gedung Kesenian di Jalan Pos, Pasar Baru, Jakarta Pusat, memang bisa naik KRL turun di Sta Juanda. Tapi, kondisi trotoar ke arah Gedung Kesenian tidak nyaman.

Memang, kalau kita lihat di siaran televisi warga di kota-kota besar dunia banyak yang berjalan kaki. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kota-kota besar di Indonesia. Sarana untuk berjalan kaki, disebut trotoar, justru dipakai pedagang kaki lima. Ada juga pos-pos ormas, bahkan pos polisi pun dibangun di trotoar seperti di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Ilustrasi: Zebera cross di Indonesia (Sumber: edorusyanto.wordpress.com)
Ilustrasi: Zebera cross di Indonesia (Sumber: edorusyanto.wordpress.com)
Bukan hanya itu zebra cross (tempat yang dikhususkan bagi pejalan kaki untuk menyeberang) tidak berguna karena pengemudi motor dan mobil tidak mengindahkan rambu-rambu terkait zebra cross. Kendaraan bermotor pun berhenti di zebra cross. Bahkan, pengemudi mencaci-maki pejalan kaki yang menyeberang di zebra cross sambil membunyikan klakson dan memutar pedal gas sehingga bunyi mesin mobil meraung-raung memekakkan telinga.

Gambaran yang sama juga ada di kota-kota besar lainnya di luar Jakarta. Transportasi hanya mengandalkan kendaraan bermotor. Tidak ada opsi atau pilihan angkutan lain sehingga membuat banyak orang berpikir dua kali jika hendak bepergian ke pusat-pusat hiburan dan perbelanjaan.

Hasil lain dari penelitian itu adalah ada korelasi positif antara keterjangkauan dengan jalan kaki dan level pendidikan yang tinggi di tempat kerja bersangkutan. Tentu saja ini amat pelik untuk dijabarkan, tapi ini merupakan hasil penelitian. Hasil penelitian itu sendiri menantang karena sangat sulit menjabarkan kaitan antara jalan kaki dan tingkat pendidikan. Soalnya, penelitian itu menunjukkan kota-kota yang ramah terhadap pejalan kaki memiliki jumlah warga yang cerdas sepertiga kali lebih banyak jika dibandingkan yang ramah pengemudi.

Penelitian menemukan fakta di tiga kota dengan jumlah kantor, pusat perbelanjaaan dan pemukiman yang terbanyak di AS, yaitu: New York, Washington dan Boston. Di tiga kota ini penelitian menemukan sangat banyak warga berusia 25 tahun ke atas dengan pendidikan paling rendah S1. Washington sendiri dihuni oleh warga dengan klasifikasi S1 sebanyak 51 persen, dan Boston di posisi ketiga sebanyak 42 persen.

Christipher Leinberger dari Fakultas Bisnis Universitas George Washington, salah satu peneliti, mengatakan tidak tahu apakah tempat yang ramah pejalan kaki menarik orang yang lebih berpendidikan, atau orang yang lebih berpendidikanlah yang justru pindah ke suatu kota yang kemudian menjadi kota yang ramah bagi pejalan kaki.

Ilustrasi: Menyebarang di zebra cross di Kota New York, AS (Sumber: www.huffingtonpost.com)
Ilustrasi: Menyebarang di zebra cross di Kota New York, AS (Sumber: www.huffingtonpost.com)
Namun, ada dua kota, Houston dan Dallas dua kota di negara bagian Texas, yang justru menjadi pengecualian karena bertentangan dengan hasil utama penelitian, yaitu kota yang juga memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi skor pejalan kaki rendah.

Disebutkan bahwa milenial, julukan bagi orang-orang yang lahir antara tahun 1981 – 1996, merupakan generasi yang paling berpendidikan dalam sejarah peradaban manusia. Sebagian besar milenial bergelar sarjana. Mereka mencari pekerjaan ke kota-kota besar yang akhirnya membuat kota-kota itu dihuni oleh warga dengan pendidikan tinggi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula.

Memang, tidak ada yang bisa dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa kota-kota yang melarang kendaraan bermotor ke pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan, tapi mudah dijangkau dengan jelan kaki akan dipenuhi oleh orang-orang berpendidikan tinggi.

Tapi, satu hal yang bisa dipelajari dari penelitian itu adalah orang-orang milenia pada saat memutuskan untuk menikah dan mempunyai anak akan memilih pindah ke pinggiran kota. Seperti dikatakan oleh Leinberger, mereka akan menjadikan pinggiran kota ramah bagi pejalan kaki. Itu artinya akan ada akses jalan kaki, yaitu trotoar dan jalur sepeda menuju ke stasiun subway atau metrorail.

Ilustrasi: Jalur sepeda (Sumber: inhabitat.com)
Ilustrasi: Jalur sepeda (Sumber: inhabitat.com)
Beberapa kota penggiran yang diteliti, seperti Kota Arlington, Virginia, yang hanya berjarak 9 km dari Washington DC menunjukkan 90 persen jalan raya di kota itu memiliki akses yang ramah untuk pejalan kaki dan pesepeda.

Lagi-lagi ‘budaya’ sebagian warga di Indonesia yang bisa saja disebut sebagai ‘future shock’ (kejutan masa depan), yang dipopulerkan oleh Alvin Toffler, menjadi kunci mengapa kota-kota besar di Indonesia lebih memilih mengembangkan jalan tol dan jalan layang daripada menyiapkan sarana untuk jalan kaki dan bersepeda yang nyaman. Soalnya, dengan gaji yang besar banyak yang memilih membeli kendaraan bermotor, seperti motor dan mobil, sebagai alat tranportasi dari rumah ke tempat kerja di pusat kota karena sebelumnya sebagai dari mereka jalan kaki, naik sepeda atau angkutan umum.

Karena jumlah kendaraan bermotor yang banyak dan menuju ke satu titik pada waktu yang bersamaan, terjadilah kemacetan yang sangat massif karena mereka harus melalui leher botol sebagai penyempitan jalan raya.

Pemprov DKI Jakarta sudah berupaya mengembangkan transportasi berupa angkutan massal dengan bus, dikenal sebagai busway, dengan armada Transjakarta. Tapi, angkutan ini pun menghadapi masalah karena harus berebut dengan motor dan mobil. Jalur khusus pun diserobot pula sehingga perjalanan dengan busway tetap tidak nyaman karena macet dan terhalang lampu merah yang banyak di sepanjang koridor.

Untunglah Gubernur DKI Jakarta, waktu itu, Joko Widodo, yang akrab dipanggil Jokowi ini presiden, bersama wakilnya Basuki Tjahaja Purnana yang akrab dipanggil Ahok berani membuat kebijakan yang tidak populer yaitu membangun mass rapid transit (MRT) berupa jalur kereta api di bawah permukaan tanah Bundaran HI-Lebak Bulus, dan LRT (light rail transport) di atas permukaan tanah sebanyak enam jalur dari berbagai penjuru Ibu Kota. 

Tapi, jalur MRT dan LRT tetap terbatas, sehingga diperlukan sarana yang nyaman bagi pejalan kaki dan pesepeda. (bahan dari BBC Indonesia dan sumber lain). ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun