Agaknya, Beijing menunjukkan ‘taring’ dengan menolak keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional yang menolak klaim Tiongkok atas penguasaan 95 persen wilayah teritorial Laut Tiongkok Selatan (LTS) patokan ‘nine-dash line’ (sembilan garis putus-putus, dalam peta berwarna merah).
Klaim Tiongkok berdasarkan ‘nine-dash line’ secara eksplisit mencaplok sebagian wilayah perairan Laut Natuna di gugusan Kepuluan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, yang masuk sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang sudah diakui dunia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional PBB (UNCLOS) 200 tahun 1982.
Bijing tentu tidak main-main karena keputusan itu dikeluakan Mahkamah Agung Tiongkok dengan ancaman penjara paling lama satu tahun. Bisa saja hukuman penjara dijadikan sebagai kerja paksa dan juga penyiksaan karena peradilan di ‘Negeri Tirai Bambu’ itu bisa saja tidak fair.
Dikabarkan ‘pengadilan rakyat’ akan mengawal kepentingan Beijing untuk mengamankan wilayah teritorial mereka di LTS. Memang, langkah yang diambil Beijing adalah menggiring kapal-kapal nelayan asing yang tidak mengantongi izin keluar dari wilayah ‘nine-dash line’, jika membandel dan masuk kembali barulah dilakukan peradilan.
Persoalannya adalah wilayah teritorial yang diklaim Tiongkok sebagai perairannya di LTS justru wilayah negara lain, seperti Indonesia di Natuna, berdasarkan UNCLOS 200/1982 sehingga jadi masalah besar. Mosok nelayan kita diusir dan ditangkap ketika menangkap ikan di wilayan teritorial sendiri yang sah berdasarkan hukum internasional.
Kapal nelayan yang membandel dikategorikan oleh Beijing sebagai ‘tindakan kriminal serius’ yang berujung pada pengadilan rakyat dengan ancaman kurungan satu tahun penjara. Beijing mengklaim pernyataan mereka itu sebagai garansi penegakan hukum untuk menjaga teritorial Tiongkok di LTS.
Kita tidak bisa menganggap enteng ancaman Beijing itu karena menyangkut kehidupan nelayan tradisional yang mencari nafkah untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Jika kelak ada nelayan kita yang ditangkap tentu jadi masalah besar.
Dengan bukti beberapa kali nelayan Tiongkok ditangkap di perairan Natuna karena mencuri ikan menunjukkan Beijing meyakinkan nelayannya bahwa perairan itu bagian dari teritorial mereka di LTS. Bahkan, laporan-laporan intelejen menyebutkan bahwa nelayan-nelayan Tiongkok itu dilatih sebagai mata-mata: Cina merapal jurus baru dalam perseteruan seputar Laut Cina Selatan. Mereka melatih nelayannya menjadi milisi dan mata-mata. Para pelaut itu bertugas menjelajahi wilayah sengketa dan mengumpulkan informasi penting (“Cina Latih Nelayannya Menjadi Mata-mata di Laut Cina Selatan”,dw.com,2/6-2016).
Adalah Presiden Joko Widodo yang mengadakan rapat di atas kapal perang KRI Imam Bonjol (23/6-2016) sebagai bagian dari upaya mempertahakan wilayah kedautalan Indonesia. Langkah-langkah pemerintah Jokowi-JK untuk meningkatkan pembangungan dan menempatkan tentara di sana merupakan bagian dari mempertahankan setiap jengkal wilayah “Ibu Pertiwi”.
Kita tetap mendorong pemerintah melakukan langkah-langkah diplomatik untuk meyakinkan Tiongkok bahwa wilayah yang mereka klaim berdasarkan ‘nine-dash line’ adalah bagian yang utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu saja membangun pertahanan, industri, perikanan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk di sana jadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mempertahankan setiap jengkal wilayah darat, laut dan udara NKRI. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H