Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nelayan Indonesia di Perairan Natuna yang Masuk ‘Nine-Dash Line’ Terancam Dipenjarakan Tiongkok

4 Agustus 2016   06:27 Diperbarui: 4 Agustus 2016   07:27 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agaknya, Beijing menunjukkan ‘taring’ dengan menolak keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional yang menolak klaim Tiongkok atas penguasaan 95 persen wilayah teritorial Laut Tiongkok Selatan (LTS) patokan ‘nine-dash line’ (sembilan garis putus-putus, dalam peta berwarna merah).

Klaim Tiongkok berdasarkan ‘nine-dash line’ secara eksplisit mencaplok sebagian wilayah perairan Laut Natuna di gugusan Kepuluan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, yang masuk sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang sudah diakui dunia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional PBB (UNCLOS) 200 tahun 1982.

Perairan Natuna yang masuk dalam wilayah 'nine-dash line' yang diklaim Tiongkok (Repro: www.asiasentinel.com)
Perairan Natuna yang masuk dalam wilayah 'nine-dash line' yang diklaim Tiongkok (Repro: www.asiasentinel.com)
Soalnya, Tiongkok mengancam seperti diberitakan dw.com (2/8-2016) “Pengadilan Cina Ancam Penjarakan Nelayan Asing” yang masuk wilayah teritorialnya di LTS. Nah, dengan penolakan keputusan pengadilan internasional itu berarti Beijing tetap mengklain wilayah perairan Natuna itu sebagai bagian dari teritorialnya di LTS yang masuk dalam wilayah ‘nine-dash line’.

Bijing tentu tidak main-main karena keputusan itu dikeluakan Mahkamah Agung Tiongkok dengan ancaman penjara paling lama satu tahun. Bisa saja hukuman penjara dijadikan sebagai kerja paksa dan juga penyiksaan karena peradilan di ‘Negeri Tirai Bambu’ itu bisa saja tidak fair.

Dikabarkan ‘pengadilan rakyat’ akan mengawal kepentingan Beijing untuk mengamankan wilayah teritorial mereka di LTS. Memang, langkah yang diambil Beijing adalah menggiring kapal-kapal nelayan asing yang tidak mengantongi izin keluar dari wilayah ‘nine-dash line’, jika membandel dan masuk kembali barulah dilakukan peradilan.

Persoalannya adalah wilayah teritorial yang diklaim Tiongkok sebagai perairannya di LTS justru wilayah negara lain, seperti Indonesia di Natuna, berdasarkan UNCLOS 200/1982 sehingga jadi masalah besar. Mosok nelayan kita diusir dan ditangkap ketika menangkap ikan di wilayan teritorial sendiri yang sah berdasarkan hukum internasional.

Kapal nelayan yang membandel dikategorikan oleh Beijing sebagai ‘tindakan kriminal serius’ yang berujung pada pengadilan rakyat dengan ancaman kurungan satu tahun penjara. Beijing mengklaim pernyataan mereka itu sebagai garansi penegakan hukum untuk menjaga teritorial Tiongkok di LTS.

Kita tidak bisa menganggap enteng ancaman Beijing itu karena menyangkut kehidupan nelayan tradisional yang mencari nafkah untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Jika kelak ada nelayan kita yang ditangkap tentu jadi masalah besar.

Dengan bukti beberapa kali nelayan Tiongkok ditangkap di perairan Natuna karena mencuri ikan menunjukkan Beijing meyakinkan nelayannya bahwa perairan itu bagian dari teritorial mereka di LTS. Bahkan, laporan-laporan intelejen menyebutkan bahwa nelayan-nelayan Tiongkok itu dilatih sebagai mata-mata: Cina merapal jurus baru dalam perseteruan seputar Laut Cina Selatan. Mereka melatih nelayannya menjadi milisi dan mata-mata. Para pelaut itu bertugas menjelajahi wilayah sengketa dan mengumpulkan informasi penting (“Cina Latih Nelayannya Menjadi Mata-mata di Laut Cina Selatan”,dw.com,2/6-2016).

Nelayan Tiongkok diberikan BBM gratis dengan ibmalan mereka berperan sebagai mata-mata (Rpro: dw.com)
Nelayan Tiongkok diberikan BBM gratis dengan ibmalan mereka berperan sebagai mata-mata (Rpro: dw.com)
Maka, tidaklah mengherakan kalau kemudian kapal coast guard Tingkok melakukan manuver-manuver provokatif yang keras untuk menyelamatkan nelayan mereka yang ditangkap Indonesia. Bahkan, Kapal Patroli “Hiu” milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) ditabarak kapal coast guard Tiongkok sebagai bagian dari upaya menyelematkan nelayan yang ditangkap (19/3-2016). Ketika yang menangkap kapal perang KRI kapal coast guard tidak melakukan manuver, tapi mereka terus memantau langkah-langkah KRI, seperti yang dilakukan KRI Imam Bonjol (17/6-2016).

Adalah Presiden Joko Widodo yang mengadakan rapat di atas kapal perang KRI Imam Bonjol (23/6-2016) sebagai bagian dari upaya mempertahakan wilayah kedautalan Indonesia. Langkah-langkah pemerintah Jokowi-JK untuk meningkatkan pembangungan dan menempatkan tentara di sana merupakan bagian dari mempertahankan setiap jengkal wilayah “Ibu Pertiwi”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun