Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pulau Bali, Surga Wisata yang Terancam Tinggal Kenangan

2 Agustus 2016   10:54 Diperbarui: 2 Agustus 2016   15:01 2699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisatawan menikmati subak di Bali (Ilustrasi (Sumber: beritabali.com)

Laporan di dw.com (15/3-2016) menyebutkan ada tujuh keajaiban alam yang juga sebagai ‘surga wisata’ di dunia yang terancam akan hilang karena berbagai faktor. Salah satu di antaranya adalah Pulau Bali. Pulau yang dijuluki “Pulau Dewata” ini merupakan daerah tujuan wisata (DTW) utama di Indonesia. Jika faKtor-faktor yang merusak ekosistem di pulau itu tidak segera ditangani, maka ‘surga wisata’ ini pun terancam akan tinggal kenangan.

Selain Pulau Bali surga wisata lain yang diperkirakan akan tinggal kenangan adalah: Maladewa, Gunung Kilimanjaro (Afrika), Hutan Amazon (Amerika Latin), Laut Mati, Mount Everest, dan Danau Titicaca (Peru). 

Salah satu risiko terbesar yang dihadapi Bali adalah penyedotan bawah tanah (ABT). Air permukaan dan mata air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi permukian, industri dan pariwisata. Akibatnya, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) daerah pun harus menyedot air dari dalam tanah atau ABT. Selain PDAM, banyak pula rumah tangga, perumahan, industri dan industri pariwisata yang juga menyedot ABT sehingga daya dukung air tanah di Pulau Bali krisis.

Paling tidak Pemprov Bali harus menyediakan air bersih untuk 4,3 juta penduduk, air untuk irigasi dan air bersih untuk industri pariwisata. Sebagai DTW utama Pulau Bali jadi ’surga’ bagi wisatawan mancanegara. Dinas Pariwisata Provinsi Bali mencatat wisatawan mancanegara dengan menumpang pesawat yang terbang dari negerinya maupun lewat laut ke Pulau Dewata sebanyak 2.992.925 pada priode Januari-September 2015 atau naik 7,63 persen jika dibandingkan periode sama tahun t2014 hanya 2.780.741 (bali.tribunnews.com, 31/10-2015).

Pada tahun 1970-an, sebagaimana rata-rata masyarakat Indonesia, warg Bali setiap hari hanya menghabiskan air 60-90 liter/hari/orang. Kebutuhan air itu sudah mencakup untuk mandi, mencuci, masak, dan sebagainya. Kini konsumsi air warga Bali, setidaknya warga  Kota Denpasar, sudah mendekati 200 liter/hari/orang (bali.tribunnews.com, 11/5-2015). Kondisi ini perkiraan kalangan ahli 60 persen cadangan air di Bali ada dalam kondisi kering.

Kondisnya kian parah karena luas daerah tangkapan hujan (catchman area) pun kian menyusut karena dipakai untuk perladangan, permukiman, industri dan pariwisata. Jika penyedotan ABT tidak dikontrol, maka cadangan ABT akan kritis yang menyebabkan permukaan tanan turun dan mendorong terjadi intrusi air laut.

Pola tata guna lahan pun lepas kontrol sehingga lahan dengan kemiringan di atas 15 derajat pada ketinggian 350 meter dpl (di atas permukaan air laut) yang dijadikan sebagai kawasan lindung untuk daerah tangkapan hujan pun jadi areal pertanian dan permukiman. Pada areal pertanian dan permukinan tidak ada lagi pohon-pohon yang besar bahkan sebagaian lahan gundul. Ini menyebabkan air hujan akan mengalir deras sebagai air permukaan (run off) sehingga tidak sempat masuk ke bawah permukaan tanah untuk mengisi cadangan ABT.

Berdasarkan kemiringan lereng (elevasi) pemanfaatan lahan erat kaitannya dengan ekosistem, yaitu: pada lereng di bawah 15 derajat tanaman tahunan 25 persen dan tanaman semusim 75 persen, pada kemiringan 15-30 derajat tanaman tahunan 50 persen dan tanaman semusim 50 persen, di lereng dengan kemiringan 30-45 derajat tanaman tahunan 75 persen dan tanaman semusim 25 persen, sedangkan di lereng  dengan kemiringan di atas 45 derajat hanya ditanami dengan tanaman tahunan 100 persen (vetiverindonesia.wordpress.com).

Dengan patokan di atas bisa diamati apa yang terjadi di Pulau Bali khususnya dan di Indonesia umumnya. Di lereng-lereng dengan kemiringan di atas 15 persen nyaris tidak ada lagi tuhunan karena yang ada justru perladangan dan permukiman. Kondisi ini membuat air hujan tidak maksimal masuk ke bawah permukaan tanah. Dalam Permentan No 47/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan disebutkan bahwa Lahan pegunungan adalah wilayah dengan elevasi > 350 m dpl dan/atau dengan tingkat kemiringan lereng > 15%.

Alih fungsi lahan persawahan di Bali juga cukup kencang. Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Bali, misalnya, menyebutkan pada tahun 2013 luas lahan pertanian berkurang 460 hektar menjadi 81.116 hektar, dibandingkan dengan tahun 2012 yang luasnya 81.625 hektar (bisnis.com, 29/6-/2014). Dengan penyusutan rata-rata 400 hektar pertahan, diperkirakan luas lahan pertanian hanya 14 persen dari luas daratan seluas 5.780 kilometer persegi.

Maka, langkah yang arif adalah memanbun bendung dan bendungan untuk menampung air hujan. Bendungan pun bisa pula dimanfaatkan untuk pengairan (irigas) dan menggerakkan turbin pembangkit listri. Bisa dengan sekala kecil misalnya untuk beberapa desa atau tingkat kecamatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun