Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan, jumlah fasilitas kesehatan yang pengadaan vaksinnya dari pemasok tidak resmi bertambah dari 28 menjadi 37 fasilitas, tersebar di sembilan daerah. Mayoritas adalah rumah sakit dan klinik. BPOM sedang menyisir fasilitas kesehatan di 32 provinsi (Harian “KOMPAS”, 2/7-2016).
Temua Dinkes DKI Jakarta itu pun belum mencakup semua Faskes karena di Jakarta terdapat 2.000 klinik, 177 rumah sakit, 20 rumah sakit kecamatan, 7 rumah sakit umum daerah, dan 11 rumah sakit vertikal (Harian “KOMPAS”, 2/7-2016).
Jika pemerintah provinsi, kabupaten dan kota tetap berpegang teguh pada hasil razia mereka yang hanya mencari vaksin palsu di lemari penyimpanan atau pendingin, itu artinya mereka lebih mengutamakan nama baik daerah daripada nyawa manusia.
Pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah pemerintah membuat regulasi atau aturan yang ketak dalam mengatur prosedur pengajuan pembelian vaksin?
Kalau tidak ada. Lagi-lagi kelalaian negara dalam melindungi hak-hak warga negara dalam hal kesehatan, dalam kaitan ini bayi dan anak-anak.
Kalau hanya anjuran agar Faskes membeli obat, vaksin dan kebutuhan medis dari distributor yang terdaftar tidak akan menyelesaikan masalah karena bisa saja ada oknum karayawan distributor yang nakal. Biarpun sudah terdaftar, tapi kalau pengawasan tidak sistematis bisa terjadi ada oknum karyawan di distributor yang berlindung di balik izin yang mereka kantongi untuk berbuat curang.
Bagi Faskes yang sudah mempunyai standar yang dikeluarkan badan yang ditunjuk pemerintah atau pun badan internasional tentu saja mereka wajib taat pada prosedur pembelian obat, vaksin dan peralatan medis. Yang jadi persoalan adalah pada Fakses yang hanya berdasarna izin pemerintah daerah atau dinas terkait tentulah prosedur tidak seketat Faskes yang sudah mengantongi standar.
Faskes yang mempunyai standar akan memilih obat yang diproduksi oleh pabrik obat atau farmasi yang telah memenuhi standard Good Manufacturing Practise (GMP) atau Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Rumah sakit juga akan memilih dan bekerjasama dengan perusahaan distributor yang telah menjalankan proses distribusi sesuai dengan pedoman Good Distribution Practise (GDP) atau Tata Cara Distribusi Obat yang Benar (blog.awalbros.com, diunggah 2/7-2016, 10.00 WIB).
Maka, salah satu langkah pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, adalah dengan mewajibkan Faskes secara rutin per pekan mengirimkan bukti pemesanan dan faktur pembelian obat-obatan dan vaksin, kalau perlu juga peralatan medis, ke instansi yang ditunjuk. Dilengkapi pula dengan sanksi yang berat, seperti pidana, denda dan pencabutan izin.
Tidak ada lagi waktu untuk ‘debat kusir’ soal pengawasan di agas karena sudah terbukti sindikat yang dibongkar Bareskrim Mabes Polri sudah memproduksi dan mengedarkan vaksin paslu sejak tahun 2003 dengan skala nasional.
Apakah kita akan membiarkan negara ini kelak dipenuhi oleh orang-orang yang penyakitan dan sekarat karena sakit akibat tidak divaksinasi? ***