* Perlu regulasi yang mewajibkan Faskes mengirim laporan prosedur dan faktur pembelian vaksin secara rutin ....
Langkah Pemprov DKI Jakarta dalam menelusuri peredaran vaksin palsu di fasilitas kesehatan (Faskes) di wilayah DKI Jakarta patut diacungi jempol karena tidak hanya sekedar razia atau mencari vaksin di lemari penyimpanan atau pendingin di Faskes, tapi juga memeriksa prosedur pembelian vaksin dan faktur pembelian vaksin.
Hasilnya? “ .... Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencurigai 35 dari 605 fasilitas kesehatan yang mereka periksa memiliki vaksin palsu karena pengadaan vaksinnya tanpa prosedur dan faktur pembelian yang tidak jelas.” (Harian “KOMPAS”, 2/7-2016).
Temuan Dinkes DKI itu akan menambah panjang jumlah rumah sakit, klinik dan praktek bidan yang memakai dan menyebarkan vaksin palsu. Dikabarkan sindikat jaringan vaksin palsu menawarkan vaksin dengan harga miring yaitu jauh lebih murah dari harga vaksin melalui jalur resmi. Menurut Agung (Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus, Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Agung Setya-pen.), pelaku membuat satu paket vaksin palsu dengan biaya Rp 150.000 dan dijual Rp 250.000. Padahal harga vaksin asli dipatok Rp 800.000 – Rp 900.000 per paket. Penyebarannya diduga sudah menyeluruh di Indonesia (tempo.co, 27/6-2016).
Dengan harga yang murah dan peredaran luas, apakah tidak ada rumah sakit, klinik atau praktek bidan di seluruh Indonesia, kecuali Jakarta, yang tertarik?
Kalau memang benar tidak ada, itu benar-benar mengejutkan! Tampaknya, ada daerah yang buru-buru menyatakan bahwa di daerahnya tidak ditemukan vaksin palsu.
Maka, hanya di Jakarta rupanya ada yang tergiur meraih untung dari vaksin palsu tsb. Maka, pengelola fasilitas kesehatan harus berkaca ke pengelola fasilitas kesehatan di luar Jakarta karena mereka sama sekali tidak tergiur dengan untung besar karena lebih mementingkan keselamatan nyawa manusia.
Ini keterangan terbaru dari Barekskrim Polri: "Di tahun 2016 dari 294 anak yang divaksin di tempat bidan ME di Ciracas, kemarin kita dapat yang sudah terindikasi diimunisasi dengan vaksin palsu ada 48 anak," Dir Tipid Eksus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya di Mabes Polri (detiknews, 2/7-2016).
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk daerah-daerah yang sudah mengklaim bahwa tidak ada vaksin palsu di daerahnya: Apakah razia juga meliputi pemeriksaan tentang prosedur pembelian vaksin dan faktur pembelian?
Kalau razia tidak meminta prosedur pengajuan pembelian vaksin dan faktur pembelian vaksin, maka klaim daerah itu hanya omong kosong. Bahkan, bisa muncul dugaan buruk di balik pernyataan tsb.
Soalnya, kalau hanya merazia lemari penyimpanan obat dan vaksin, maka ketika kasus sindikat pemalsu vaksin terbongkar obat-obatan dan vaksin palsu tentu sudah dikeluarkan dari lemari penyimpanan obat dan vaksin. Ketika polisi, petuas Dinkes, dll. datang, ye, ketinggalan kereta karena pengelola Faskes sudah ‘membesihkan’ lemari penyimpanan obat dan vaksin mereka.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan, jumlah fasilitas kesehatan yang pengadaan vaksinnya dari pemasok tidak resmi bertambah dari 28 menjadi 37 fasilitas, tersebar di sembilan daerah. Mayoritas adalah rumah sakit dan klinik. BPOM sedang menyisir fasilitas kesehatan di 32 provinsi (Harian “KOMPAS”, 2/7-2016).
Temua Dinkes DKI Jakarta itu pun belum mencakup semua Faskes karena di Jakarta terdapat 2.000 klinik, 177 rumah sakit, 20 rumah sakit kecamatan, 7 rumah sakit umum daerah, dan 11 rumah sakit vertikal (Harian “KOMPAS”, 2/7-2016).
Jika pemerintah provinsi, kabupaten dan kota tetap berpegang teguh pada hasil razia mereka yang hanya mencari vaksin palsu di lemari penyimpanan atau pendingin, itu artinya mereka lebih mengutamakan nama baik daerah daripada nyawa manusia.
Pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah pemerintah membuat regulasi atau aturan yang ketak dalam mengatur prosedur pengajuan pembelian vaksin?
Kalau tidak ada. Lagi-lagi kelalaian negara dalam melindungi hak-hak warga negara dalam hal kesehatan, dalam kaitan ini bayi dan anak-anak.
Kalau hanya anjuran agar Faskes membeli obat, vaksin dan kebutuhan medis dari distributor yang terdaftar tidak akan menyelesaikan masalah karena bisa saja ada oknum karayawan distributor yang nakal. Biarpun sudah terdaftar, tapi kalau pengawasan tidak sistematis bisa terjadi ada oknum karyawan di distributor yang berlindung di balik izin yang mereka kantongi untuk berbuat curang.
Bagi Faskes yang sudah mempunyai standar yang dikeluarkan badan yang ditunjuk pemerintah atau pun badan internasional tentu saja mereka wajib taat pada prosedur pembelian obat, vaksin dan peralatan medis. Yang jadi persoalan adalah pada Fakses yang hanya berdasarna izin pemerintah daerah atau dinas terkait tentulah prosedur tidak seketat Faskes yang sudah mengantongi standar.
Faskes yang mempunyai standar akan memilih obat yang diproduksi oleh pabrik obat atau farmasi yang telah memenuhi standard Good Manufacturing Practise (GMP) atau Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Rumah sakit juga akan memilih dan bekerjasama dengan perusahaan distributor yang telah menjalankan proses distribusi sesuai dengan pedoman Good Distribution Practise (GDP) atau Tata Cara Distribusi Obat yang Benar (blog.awalbros.com, diunggah 2/7-2016, 10.00 WIB).
Maka, salah satu langkah pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, adalah dengan mewajibkan Faskes secara rutin per pekan mengirimkan bukti pemesanan dan faktur pembelian obat-obatan dan vaksin, kalau perlu juga peralatan medis, ke instansi yang ditunjuk. Dilengkapi pula dengan sanksi yang berat, seperti pidana, denda dan pencabutan izin.
Tidak ada lagi waktu untuk ‘debat kusir’ soal pengawasan di agas karena sudah terbukti sindikat yang dibongkar Bareskrim Mabes Polri sudah memproduksi dan mengedarkan vaksin paslu sejak tahun 2003 dengan skala nasional.
Apakah kita akan membiarkan negara ini kelak dipenuhi oleh orang-orang yang penyakitan dan sekarat karena sakit akibat tidak divaksinasi? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H