Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyikapi Hukuman bagi Pelaku Kejahatan Seksual terhadap Anak

27 Mei 2016   14:23 Diperbarui: 27 Mei 2016   15:36 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang diperbarui dengan UU No 23/2004 dan diperbarui lagi dengan Perppres No 1/2016 tidak ada pembedaan jenis kejahatan seksual dan klassifikasi pelaku sehingga hukuman pun sama terhadap semua pelaku kejahatan seksual. Padahal, setiap jenis kejahatan seksual memunculkan pelaku dan korban yang berbeda perilaku dan dampaknya.

Kejahatan seksual bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Laki-laki melakukan kejahatan seksual dalam bentuk: infantofilia, paedofilia, sodomi, perkosaan dan incest. Sedangkan perempuan bisa melakukan kejahatan seksual terhadap remaja yang disebut cougar.

Beberapa perilaku seks tsb. merupakan bentuk parafilia yaitu deviasi atau pergeseran orientasi seksual, yaitu infantofilia, paedofilia, dan sodomi (Lihat: Parafilia, Memuaskan Dorongan Hasrat Seksual ’di atau dari Sisi Lain’).

Kasus-kasus kekerasan seksual menjadi ‘abu-abu’ karena polisi dan media massa, khususnya televisi, memberikan ‘ruang peradilan’ sebagai pembelaan bagi pelaku kejahatan. “Tersangka melakukan sodomi karena dulu pernah korban sodomi.” Ini ‘kan sebatas pengakuan. Pelaku-pelaku sodomi akan menjadikan pengakuan itu sebagai pembenaran kejahatannya [Lihat: Pelaku Sodomi (Akan) Memakai Pembenaran Mereka Pernah Jadi Korban].

Pertanyaannya: Mengapa polisi tidak melakukan visum et repertum? Ini penting untuk membuktikan pernyataan tersangka. Soalnya, bisa jadi hal itu terjadi karena copy-paste dari publikasi di media massa (Lihat: Publikasi Motif Kejahatan di Media Massa Jadi Inspirasi: “Saya Memerkosa Karena Pengaruh Miras dan Pornografi, Bu M**t**i ....”).

Ada anggapan bahwa korban kejahatan seksual kelak bisa melakukan kejahatan seperti yang dialaminya, maka perlu ada klassfikasi berdasarkan kategori atau jenis kejahatan seksual yang dilakukan. Ini perlu karena tidak semua korban kejahatan seksual akan bisa melakukan hal yang dialaminya kepada orang lain.

Di Pasal 76D dalam UU 23/2004 disebutkan: "Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain."

Koleksi Pribadi
Koleksi Pribadi
Yang perlu diperhatikan adalah jenis persetubuhan karena bisa dikaitkan dengan sanksi dan pemberatan. Misalnya, kejahatan seksual yang dilakukan terhadap bayi dan anak-anak perempuan berumur 0-7 tahun. Ini disebut infantofilia. Tentu saja bayi dan anak-anak itu kelak tidak akan bisa melakukan hal yang sama kepada orang lain (Lihat: Infantophilia, Hasrat Seks Laki-laki Dewasa ke Bayi Perempuan).

Sedangkan paedofilia tidak melakukan kekerasan karena anak-anak mereka jadikan anak angkat, ponakan angkat dan ‘istri’. Berbeda dengan sodomi yang memang melakukan kekerasan seksual secara seks anal. Pelaku sodomi tidak ototmatis seorang paedofilia karena bisa saja seorang heteroseksual melakukan sodomi.

Kalau paedofilia dilakukan oleh laki-laki, maka cougar dilakukan oleh perempuan dewasa terhadap remaja putra. Hanya satu kasus yang pernah ditangani polisi di Bengkulu, pelaku divonis delapan tahun penjara.

Ada lagi ini incest. Kasus ini bisa menjadi perkosaan karena unsur pemaksaan. Kasus ini tidak banyak muncul karena ditutup-tutupi agar aib keluarga tidak terbongkar.

Yang membuat kejahatan seksual kian abu-abu adalah pernyataan dari berbagai kalangan, termasuk menteri, yang memberikan ‘pembelaan’ terhadap pelaku kejahatan dengan mengatakan karena pengaruh miras dan pornografi.

Alangkah arifnya kalau pelaku kejahatan yang tertangkap dalam kondisi meminum miras, memakai narkoba dan menonton pornografi justru menjadikan hal itu sebagai pemberatan. Soalnya, bisa saja seseorang melakukan kejahatan seksual sengaja minum mirasa, atau pakai narkoba atau nonton pornografi dulu agar bisa menjadi alasan pembenaran. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun